Seorang kakek terlihat tengah mendorong gerobak mengelilingi alun-alun Pancasila Salatiga. Mbah Min, nama kakek tersebut yang tertulis di gerobaknya tengah menjajakan kembang kertas. Berulangkali ia berhenti untuk mengistirahatkan badan dengan berpegangan gerobaknya. Tubuhnya ringkih membungkuk dengan mata yang mulai dipenuhi bercak-bercak dan nafas ngos-ngosan.
Setunggal ewu tigo.” Mbah Min menjajakan kembang kertasnya kepada para pengunjung alun-alun.
Sabtu Sore, alun-alun terlihat sangat ramai pengunjung yang menghabiskan akhir pekan. Beberapa pengunjung, terutama muda-mudi tergerak untuk membeli dagangan Mbah Min. Seribu rupiah, harga yang terlalu murah untuk tiga buah kembang kertas warna-warni.
Tak mau membebani anaknya, Mbah Min mencari nafkah dengan menjual kembang kertas pada usia yang seharusnya dinikmati dengan mengistirahatkan tubuhnya dan bercanda dengan anak-cucunya. Di area alun-alun yang sama, terlihat anak-anak muda dengan badan yang terlihat masih kuat dan bugar berkeliling untuk mengamen.
Kakek tua yang memiliki anak satu ini mengaku tidak memiliki tempat tinggal tetap. Ia mengaku tinggal di pondok, entah maksudnya gubuk atau memang tinggal di sebuah pondok. Beberapa kali ia terlihat kesulitan membaca nilai rupiah jika harus memberi uang kembalian kepada pembeli. Namun, kakek berusia 90-an ini tetap awas dalam menghitung jumlah uang yang harus dibayar pembeli.
Niki kalih ewu, mundhut enem,” ujarnya dengan logat yang sudah gagap, khas orang yang mulai memasuki usia senja, kepada pembeli cilik.
Tubuh renta tidak menjadi alasan bagi kakek ini untuk menerima uang pemberian, ia hanya mau menerima uang sejumlah harga kembang kertas yang diambil. Barangkali tak ada salahnya untuk membeli kembang kertas ‘ROMANTIS’ Mbah Min jika berkunjung ke alun-alun Pancasila Salatiga. Teriring doa, mugi barokah, Mbah...

Gerobak Kembang Romantis Mbah Min

Pembeli tengah memilih kembang

Post a Comment

Komentarlah yang baik.
Tujukkan Karakter Bangsa Indonesia.