"Abah, cuti, ya. Temani."
Aku mengirimkan sms ke suami seminggu sebelum perkiraan lahir dari dokter Obgyn. Suami mengiyakan, menemani berbagai prosedur kontrol di puskesmas Cebongan tempat rencana melahirkan. Melakukan koordinasi dengan bidan yang bertugas mengingat aku seorang tuna rungu parsial.

"InsyaAllah bisa melahirkan normal, Mas. Kan mbaknya bisa baca bibir, bisa dikondisikan nanti." jelas bu Bidan menjawab kekhawatiran suami.

Aku menikmati masa tunggu dengan melakukan aktivitas seperti biasa. Nyuci, memasak, ngepel dan lain sebagainya kulakoni sebagaimana hari-hari biasa. Bahkan masih sempat ngebolang hunting bibit bunga di Kopeng, lereng Merbabu.

Kamis Malam
Suami sibuk ngoding. Entah aplikasi apalagi yang tengah digarap. Sementara keinginan untuk diperhatikan mendadak mengalami fluktuasi tinggi. Aku ngambek berat. Nangis tanpa sebab. Suami tetap asik di depan lepingu, mengabaikan istrinya yang nangis geje. Hahahaha.

Kamis 10.30 pm
Perut terasa mules. Bolak-balik ke kamar mandi untuk buang air kecil. Beberapa kali mengecek CD, apa ada flek seperti yang diberitahukan mbak tentang tanda-tanda jelang melahirkan. Nihil, belum ada flek sama sekali.

Intensitas mules semakin sering, aku membangunkan paksa suami yang baru saja terlelap tidur.

"Perut Ayi sakit." keluhku.

Suami memicingkan mata, "Trus diapakan? Ke puskesmas sekarang?"

Aku menggeleng ragu, "Tapi belum ada flek, Kak."

"Yaudah, tidur saja dulu." jawabnya sembari memijat punggungku. Aku nyengir, tidur? Memangnya bisa tidur dengan kondisi perut mules seperti itu?

Jum'at 03.00 am
"Bah, tambah sakitt." Aku mengguncang-guncang suami yang tengah terlelap.
"Yaudah, ke puskesmas sekarang ya."
Aku mengangguk lemah. Suami membangunkan ibu dan menyiapkan tas berisi perlengkapanku dan si K yang sudah kutata beberapa hari yang lalu.
Kami berangkat ke puskesmas Cebongan bertiga. Aku di tengah diapit ibu. Beberapa kali nyengir menahan nyeri kontraksi.
Sampai di Puskesmas, bidan mengabarkan jika baru bukaan satu. Kami memutuskan untuk pulang dulu.

Jum'at, 00.30 pm
"Ayi, tak tinggal jum'atan dulu, ya." Suami pamit dengan wajah menampakkan ketidaktegaan. Maklum, seharian aku tiduran di kamar sembari dipijat punggung oleh suami.
Aku mengangguk lemah. Ibu masuk ke kamar menggantikan suami.

Jum'at, 01.00 pm
Hujan turun. Kontraksi yang kurasakan semakin sering dan sakit. Di rumah cuma ada motor.
"Nunggu terang ya, Nduk." Ujar Ibu mengelus tanganku.
"Tambah mules, Bu..."
"Trus piye?" Pandangan Ibu beralih ke suami yang baru pulang Jum'atan.
"Tunggu sampai hujan mendingan."

Jum'at, 01.30 pm
"Udah mending hujannya. Ayo berangkat."
Kami berangkat. Aku memeluk pinggang suami erat-erat.
Sampai di Puskesmas, bidan langsung memeriksa miss V, mengecek bukaan jalan lahir.
"Bukaan tiga, mungkin tujuh jam lagi. Mau pulang apa disini?"

What? 7 jam? Oh My... masih lama.

"Bakso, Yi?" Suami menawarkan makan. Aku menggeleng.
"Trus apa?"
"Jajan aja, coklat." Jawabku. Ibu tertawa, si bontot yang lagi merasakan kontraksi tetep aja nyari coklat.

Aku melewati sore dengan jalan-jalan, ngemil, makan. Beberapakali melihat jam. Ayolah, plissss.

Jum'at, 04.30 pm
"Mbak, periksa lagi, yuk." Bu Bidan menghampiriku yang tengah mondar-mandir di kamar rawat inap.
Aku mengangguk, berjalan menuju ruang bersalin.
"Wah, sudah bukaan tujuh. Ntar lagi. Mungkin maghrib."

Akhirnya... habis maghrib?
Sholawat dan doa terus meluncur. Berharap persalinan lancar sesuai prediksi bidan. Paling tidak, isya aku sudah bisa memeluk jagoan. Ah...

Aku memeluk ibu ketika kontraksi memuncak. Suami kuminta memijat telapak kaki kanan yang kram.

Jum'at 06.30
"Sudah bukaan lengkap, tetapi belum bisa ngeden sekarang."
Aku melongo. Haaah?
Bu Bidan menjelaskan secara detail tentang posisi bayi yang menyebabkan aku belum diperkenankan ngeden kepada keluarga. Konsentrasiku untuk membaca mulut bidan sudah buyar. Durasi kontraksi nyaris tiap menit.
"Ditunggu dulu ya, Mbak..."
Aku menatap bu Bidan dengan tatapan tidak mengerti. Asli, nunggu apalagi. Rasanya ingin ngeden sekuat tenaga saat itu juga.
Ibu dan suami yang menemani di ruangan mengelus-elus kepala dan tanganku. Bolak-balik memintaku bersabar.
Aku pasrah total. Melantunkan sholawat, berharap berkah sholawat memudahkan proses kali ini.

Duh, Nak... bantu Ibu, plisss.
Kuelus-elus perutku. Kubisikkan pada dedek K agar segera berada pada posisi yang benar.

Tetiba kekhawatiran jalan hidupku sampai disini menyergap. Tenagaku mulai menipis. Konsentrasiku buyar. Bayang-bayang tentang beberapa tugas yang belum tunai kukerjakan melintas.

ALLAH... Ijinkan aku menemui-Mu tanpa tanggungan di dunia...

Doa-doa terus kurapalkan. Hembusan nafas tak lagi teratur. Kukencangkan pelukan pada ibu. Lamat-lamat kulihat mbak, bulik, suami, Ibu berbincang dengan bidan. Sudah 24 jam kontraksi, tetapi aku belum melahirkan.

Suami menyentuh tangan kananku dengan lembut, "Ayi masih kuat?"

Aku menggeleng lemah, "Capek, Kak."

"Rujuk ke rumah sakit aja, ya."

"Manut." Singkat, aku sudah tidak bisa lagi mempertimbangkan rujukan kemana, dokter siapa, yang kupikirkan hanya, melahirkan dedek K dengan selamat.

Jum'at, 10.30 pm
Orang-orang sibuk menyiapkan rujukan. Aku melihat dengan menahan nyeri kontraksi. Kutatap wajah ibu dan suami, ada perasaan bersalah yang mencengkeram.
"Kakak, Ibu, ngapunten nggih."
Ibu dan suami hanya tersenyum, menggeleng sembari mengelus kepalaku.
Mobil Ambulan membawaku ke Rumah Sakit. Aku menyempatkan diri melihat jalan melalui jendela. Menebak kemana aku akan dibawa.

Jum'at, 11.00 pm
Lorong dan lift Rumah Sakit ini sangat familiar, Rumah Sakit tempat praktik dokter Mufti Siradj, dokter spesialis Obgyn tempat kami konsultasi kehamilan.
Aku di bawa ke sebuah ruangan sendirian, tanpa ibu ataupun suami. Dua orang perempuan bermasker mendekat. Tangannya membawa selembar kertas dan bolpoin. Beberapa kali ia terlihat berbicara denganku.
Ah, apa tidak ada yang memberitahu jika aku deaf yang tidak bisa memahami pembicaran jika tidak membaca bibir?
Aku frustasi!
"Mbak, saya tunarungu. Plis, buka maskernya." pintaku.
Tatapan mata perempuan itu menyiratkan keheranan. Membeliak, terlihat menahan emosi dengan masker bergerak-gerak, menandakan ia tengah berusaha berbicara denganku.
Masa bidan tidak ngerti tunarungu, sih? Aku menggerutu. Ini sungguh menyebalkan. Jauh-jauh hari sebelum melahirkan aku mengajak suami survey bidan yang cocok, yang bisa memahami ketunarunguan, sekarang terjebak dalam rujukan dengan bidan yang sama sekali tidak faham.
"Mbak, saya tuna rungu. Saya nggak faham kalian ngomong apa. Ditulis saja! Ditulis!" Ujarku tak sabar.

Jum'at, 11.30 pm
Tiga orang bidan terlihat memasuki ruangan untuk membantu mendorong. Aku sudah pasrah. Mengerahkan tenaga yang kupunya. Seorang bidan berperawakan subur melepas masker. Berbicara dengan memperjelas gerakan bibirnya. Sungguh, aku sangat terharu dengan inisiatifnya melepas masker.

Aku mengejan sekuat tenaga, tiga orang membantu mendorong perutku, dua orang yang lain bersiap menerima bayi.

Tiga kali aku mengejan masih nihil. Aku meminta minum. Ibu dipanggil untuk menemani setelah melihat aku semakin payah.

Sabtu, 0.00 am
"Ayo, coba lagi sekuat tenaga ya."

Aku mengangguk, mengejan lagi sekuat yang kumampu. Berhenti. Aku lelah.
"Ayo cepat-cepat, jangan lama-lama!" Seru bidan berperawakan subur.
Kepanikan menjalar. Aku sempat melihat keringat meleleh di dahi bidan yang memimpin.
Ayolah, demi dedek K!
Dengan menyebut Asma-Nya aku mencoba mengejan dengan sekuat tenaga dan durasi yang lama.

"Yak, hidup! Laki-laki, Dek!" Seru bidan berperawakan subur.
Aku merapal tahmid. Ibu menghujaniku dengan ciuman.
Welcome to the world, Adek Kevin!
Nama yang disiapkan suami kini bisa disebut dengan jelas dan lantang; Muhammad Kevin Muzakka.

ALLAH...
Robbi Habli Minash-Sholikhin...
Kevin Muzakka usia 5 jam

4 Comments

Komentarlah yang baik.
Tujukkan Karakter Bangsa Indonesia.

  1. Subhanallah..Selamat..masih diberi kesempatan Allah meluk dedek Kevin.Kalu saya, harus ikhlas hanya melihat anak saya beberapa menit..Insya Allah, akan saya tulis di salah satu postingan blog saya..

    ReplyDelete
  2. Hallo dedek keviiin...selamat ya mbak:D luar biasa ya mbak proses melahirkan itu. Aku juga udah ngelewatin masa2 itu, sakit sih, tp begitu liat dedek jd hepi, bahagia, gak kapok. Ah, jadi pingin punya dedek lagi #loh hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku kok masih trauma ya, Mbak. Hahahaha. Apa karena masih merasakan luka jahitan. 😂

      Delete

Post a Comment

Komentarlah yang baik.
Tujukkan Karakter Bangsa Indonesia.