Tulisan ini diikutsertakan dalam mini giveaway pengalaman yang menyentuh dalam rumah tangga yang diadakan oleh Riawani Elyta.
Tapi aku belum bisa
membaca bibirnya
Sms Asma membuat Zahra
merinding. Ini kesekian kalinya Asma bercerita tentang seorang laki-laki. Zahra berfikir keras bagaimana caranya membalas sms Asma. Ia tahu, Asma
begitu selektif memilih seorang laki-laki untuk menjadi pendamping hidupnya.
“Zahra, ada yang mau…
emm… ngajak kenalan!” pipi dan hidung Asma memerah.
Zahra tertawa, meledek,
“Cu-ma nga-jak ke-na-lan, ka-mu sam-pai ka-yak ke-pi-ting re-bus be-gi-tu?”
Asma cemberut setelah
menerjemahkan bibir Zahra dengan susah payah, “Kamu sih, ngomongnya jangan
sambil ketawa. Susah nangkepnya, nih.”
Zahra masih sibuk
menghentikan tawanya, menarik nafas panjang, lantas menghembuskan pelan-pelan. Zahra
mencolek jempol tangan kanannya ke bawah dagu secara berulang, matanya menggoda
Asma. Mempraktikkan bahasa isyarat, Siapa…
siapa?
“Emm, seseorang…” Asma
menggaruk-garuk jilbab ungunya.
Zahra cemberut, menepuk
paha Asma keras-keras.
“Aww! Sakit, Zahra!”
teriak Asma, matanya melotot.
“Ja-ngan ke-la-ma-an
mi-kir!” Zahra tak sabar.
“Sebentar, aku malu.”
Asma menelan ludah, “Beliau sedang menghafal Qur’an sekarang. Masih kuliah. Aku
sudah bilang apapun, termasuk soal telinga.”
Hening. Asma
meremas-remas tangannya, “Tetapi, beliau tidak mundur kayak laki-laki lain,
Zahra. Aduuuhhhhh. Padahal, aku sudah bercerita tentang apapun.”
Asma memejamkan mata.
Menggigit bibir. “Tetapi, Zahra, aku belum tahu bagaimana perasaanku. Bisa
kauceritakan bagaimana rasanya jatuh cinta itu?”
Zahra tertawa tergelak.
Ya… ya…, Asma begitu polos!
“Tetapi, Zahra, aku
masih ragu soal beliau menerima kenyataan tentang telingaku itu atau tidak.”
Celetuk Asma.
Zahra terdiam.
“Trus, ka-mu ja-wab
ba-ga-i-ma-na?”
“Aku bilang, beliau
harus mencoba berbicara dulu sama aku. Kalau beliau sekiranya berat, aku mundur.”
Suara Asma bergetar, “ini belum tentang keluarganya, tentang orang-orang di
sekitarnya, apa bisa menerima orang yang tunarungu seperti ini, Ra?”
Zahra termenung mengingat pertemuannya dengan Asma dua hari yang lalu.
Siang tadi Asma bertemu dengan lelaki itu, Kevin. Kevin Muzakka lengkapnya.
Kan belum terbiasa, Asma...
###
“Nduk, meh ba-li?” tanya lelaki bersurban setelah mengibaskan tangan
ke arah Asma, bertanya apakah Asma akan pulang. Asma yang tengah bersiap-siap untuk pulang mengangguk.
“Inggih, Yai. Sampun
dalu.”
“Mengko sik, ora
bali sik.” cegah lelaki yang menjadi guru Asma, Kiai Dahlan.
Asma kembali meletakkan
tasnya di kursi rotan. Matanya kembali menatap yai. Menunggu yai bercerita.
Tetapi hening, seolah-olah yai menunggu Asma untuk berbicara. Asma
mengedikkan bahu ketika menoleh ke arah Haikal, sahabatnya yang mengajak sowan
ke rumah Kiai Dahlan untuk berpamitan.
“Yai, isharat
istikarah niku nopo?” Asma menyeletuk, menghilangkan kegugupan yang menyerang
lantaran hening yang menerpa ruangan itu.
Yai tersenyum. Matanya
berbinar. Sesuatu yang telah dirasakan sejak Asma datang, kini mulai terkuak.
Lelaki paruh baya itu memperbaiki duduknya. Pegal yang menyerang punggung dan
kaki lantaran usianya
yang telah menua mendadak tidak terasa.
“Hmm, istikarah?” Yai
tersenyum, mengusap sorbannya ke muka. “Lha, so-po to, Nduk?”
Asma tersentak. Kenapa Yai bertanya seperti itu? “Eh,
sinten nopone, Yai?”
Kiai Dahlan tersenyum
lebar. “Cerita, Nduk…
Cerita.”
Asma gemetar. Telapak
tangannya berkeringat. Udara Salatiga yang dingin mendadak terasa panas. Gerah.
“Anu, Yai…”
Seorang lelaki yang
baru ditemuinya dua hari lalu di UNS memintanya untuk segera istikarah. Lelaki
yang sebelumnya sering mem-bully di facebook tetiba berniat untuk
meminangnya setelah mengutarakan tiga syarat; tidak boleh jadi PNS, ikut
kemanapun suami pergi, dan siap untuk hidup sederhana. Ia tidak
mempermasalahkan tentang telinganya yang istimewa. Asma pun telah mengutarakan
tentang mimpinya untuk emak, Mahkota untuk Emak; hafalan al-Qur’an.
Lelaki itu menyanggupi akan mendukung Asma untuk melanjutkan mimpi-mimpinya.
“Tapi, yai, Kulo
ajrih. Kulo dereng saget maos gerakan mulutnya.” Ujar Asma.
“Coba nggih, nanti
sampeyan istikarah. Saiki tak bantu istikarah sik. Lewat Qur’an.”
Asma terdiam seketika. Sebegitu
cepatnya kah, Yai?
Kiai Dahlan merapal doa, menyebut nama orang yang berniat meminang Asma;
Kevin Muzakka. Dengan gerakan yang lembut, beliau mengusap al-Qur’an. “Siap,
Nduk?”
Asma hanya terdiam, menanti yai Dahlan melanjutkan petuahnya. “Sekarang,
apapun yang ditunjukkan, kamu harus siap. Jika lebih banyak Kho, Khoir, berarti
bagus. Jika banyak Syin, Syu’u, artinya kurang bagus, dan lebih baik kamu
mundur.”
Asma menarik nafas berat. Keringat bercucuran, padahal udara di Kaki Merbabu
sangat dingin.
Kiai Dahlan mengangsurkan al-Qur’annya kepada Asma, “Buka, Nduk. Dibuka.”
“Sembarang, Yai?”
“Inggih, embarang. Langsung buka saja.” Tegas Kiai Dahlan.
Asma membuka dengan tangan yang gemetar, al Qur’an di tangannya serasa
sangat berat. Sekelebatan ia memberikan kembali kepada yai Dahlan. Yai meneliti
setiap huruf di halaman yang dibuka Asma.
“Mboten nderek?” gurau Kiai Dahlan ketika melihat Asma menunduk. Asma
menggeleng, disambut cekikikan Kiai Dahlan dan Haikal.
“Berarti piro iki mau, Kal?”
###
Ibu masih keberatan soal itu, Kak.
Asma bergetar ketika membaca sms. Aku
siap mundur, apapun, pokoknya ibu dulu.Asma mengetik balasan dengan mata berkaca-kaca. Aku
tak akan maju jika ibu tidak merestui.
“Ibunya keberatan, Bu’e. Asma nggak mau maju jika ibunya tidak
merestui.” Asma menceritakan semuanya kepada Ibu. Termasuk isi pesan-pesan
Kevin, “Asma mau mundur, Bu. Ibu jangan kaget nanti, ya.”
Perempuan yang dipanggil ibu itu hanya terdiam, matanya yang teduh
menelisik raut wajah Asma. Tangannya yang mulai keriput membelai-beelai kepala
Asma. Mulutnya terlihat komat-kamit, meelangitkan doa untuk anak bungsunya.
“Ditunggu kabar selanjutnya saja, Nduk.” Ibu tersenyum, “Jodoh sampun
ditulis dening Gusti.”
Asma mengangguk, mempersiapkan diri untuk kembali membersamai
adik-adik. Lima bocah terlihat berlarian di halaman rumah. Saling berlari
mendahului untuk mendekati Asma.
“Mbak, Za-ki na-ngis!” seru Ahza.
###
“Ah, iya?” Asma
tersenyum lebar, menaikkan alis sebagai isyarat meminta kepastian.
Haikal, lelaki berbaju
hijau itu mengangguk sembari tersenyum.
Asma menempelkan jempol
pada tengah jari kanan, membentuk isyarat abjad K. Lalu menggeser kanan-kiri di
depan, bertanya, “Ka-pan?”
Haikal menggerakkan
jentiknya dari atas ke bawah dengan gerakan melengkung, mengisyaratkan huruf J,
“Ju-ni.”
“Aaaah, A-Syiiiikk.”
Asma bertepuk tangan. Haikal tertawa. Asma menjentikkan jari jentiknya ke
telinga, “tu-li?”
Haikal mengangguk,
mengulang kembali kata-kata Asma tanpa suara, “tu-li.”
Asma tersenyum lebar.
Mengalirlah cerita
diantara mereka dengan bahasa isyarat. Banyak orang bergerombol di bawah pohon
sepanjang selasar Kartini. Spanduk MMT terbentang lebar, mengajak sesiapa untuk
belajar bahassa isyarat bersama. Terlihat beberappa orang tertawa, saling bercanda
tanpa suara. Hanya gerakan mulut dan tangan yang bergerak linncah, serta
ekspressi muka yang sangat kentara. Rutinitas setiap Minggu pagi yang dijalani Asma
selama dua bulan terakhir ini, bergabung bersama Komunitas Tuli Salatiga.
Jari telunjuk Asma
bergoyang di depan, mulutnya memperagakan, mana? Dengan senyum lebarnya.
Haikal tertawa. Jarinya
lincah menggerakkan abjad isyarat. Asma memusatkan focus matanya ke jari-jari
Haikal.
“Pur-wo-ker-to?” Asma
mengeja dengan gerakan bibir yang sangat lebar dan jelass. Haikal mengangguk.
Mengangkat jempolnya di hadapan Asma dengan tertawa.
Lincah, Haikal
mengarahkan telapak tangannya ke Asma, lantas menautkan jempol dengan jari
tengahnya, kamu kapan?
Asma tertawa,
mengedikkan bahu, entahlah.
Haikal tertawa. Ia
menyenggol bahu Adi, lincah memainkan jari seraya menunjuk-nunjuk Asma. Asma
main rahasiaan. Haikal, rekan Asma yang juga mengalami tuna rungu akan
menikah dengan perempuan asal Purwokerto, perempuan tuna rungu juga. Tiga bulan
lagi. Asma melangitkan doa-doa untuk mereka, doa yang tak ia ucapkan langsung
kepada Haikal, karena ia belum mampu mengekspreesikannya dengan iyarat.
Perbendaharaan isyarat Asma masih sangat terbatas, hari-harinya lebih banyak
dihabiskan bersama masyarakat umum. Asma lebih mahir berbahasa oral daripada
berbahasa isyaarat.
###
“Dia belum mempunyai
pekerjaan tetap?”
Asma mendesah. Menarik
nafas dalam-ddalam. Pertanyaan ini membuat pikirannya semakin kalut, berat. Ia
menggeleng pelan. Tangannya sibuk mengaduk segelas teh hangat yang tersaji di depannya.
“Jangan dulu, Ma.”
Empat pasang mata di
meja itu tertuju pada Asma. Asma menunduk, belum siap membaca tanggapan
orang-orang di sekelilingnya.
“Apa pantas alasan
seperti itu digunakan untuk menolak pinangan orang?” Asma memberanikan diri
menatap sahabatnya satu persatu.”Kalian tahu, aku seperti ini. Bahkan sahabat
terdekatku pun belum tentu mau mengambil langkah berani seperti beliau, kan?”
Mereka terdiam. Mata
Asma berkacaa-kaca, “Kalian sudah mengenalku berapa tahun? Kalian tahu siapa
ssaja yang dekat denganku. Kalian tahu beraapa orang yang munddur ketika tahu
keistimewaanku. Tetapi, tidak ada satu pun yang berani meminangku, dengan
konsekuensi seperti ini, konsekuensi memiliki isstri yang cacat!”
Asma mencecap the
dengan sendok. Memandang sekeliling. Hening mencekap. Lima anak manusia di meja
itu tenggelam dengan sate Madura di depannya. Asma menggigit ujung sedotannya
ketika teh mulai mendingin, “Dhawuh yai, seribu satu laki-laki yang bias
menerima perempuan cacat.”
“Tapi, setidaknya kamu
harus lulus kuliah dulu, Asma.”
“Kalian bias menjamin
aku dapat gantinya nggak?” celetuk Asma.
“Mana bias menjamin
ganti jodoh, Ma?” Aab tergelak, “Emang kita Tuhan apa?”
Celetukan Asma mencairkan suasana. Kelima anak
manusia
itu pun tenggelam dengan berbagai cerita.
###
Juni 2014,
Asma menikah dengan Kevin setelah melalui perjalanan panjang. Meminta doa restu
kepada orang-orang. Emak, ibu Kevin yang perempuan kampung nan bersahaja, pada
akhirnya mengijinkan mereka untuk menikah dengan melangitkan doa-doa agar
Robbuna Memudahkan urusan keduanya.
Dua tahun
pernikahan mereka, romantisme tidak tercermin dalam kata-kata verbal seperti
laiknya drama-drama korea. Romantisme rumah tangga mereka barangkali terucap
dalam doa yang dilantunkan pada malam-malam yang panjang.
Kevin yang
terus melatih Asma untuk melafadzkan huruf-huruf hijaiyah dengan benar,
menyimak bacaan al-Qur’an Asma yang masih belepotan. Kevin yang membangunkan
Asma ketika anak mereka yang masih terhitung bulan menangis malam-malam,
sementara Asma masih terlelap dalam tidurnya tanpa terganggu dengan suara.
Kevin yang dengan setia menerjemahkan pertanyaan orang-orang di sekitar ketika
Asma tidak faham. Kevin yang menggantikan tugas Asma mengajarkan lafadz-lafadz
Qur’an dan sholawat kepada anak semata wayang mereka... dan aneka tugas lain, ia melakukan tanpa banyak kata. Romantika
tanpa Kata.
Dedicated to my
Beloved Hubby.
Ini kado kecil untuk
ulang tahun pernikahan kita yang kedua,
Terimakasih telah
membersamaiku. Terimakasih, sebab kau tak menjadikan keistimewaanku sebagai
halangan untuk mencintaiku.. Love You.
Post a Comment
Komentarlah yang baik.
Tujukkan Karakter Bangsa Indonesia.