Aku merasa dongkol karena warga sana kekurangan air hampir di setiap musim kemarau. Lha kok ini malah perangkat desa dengan entengnya mau membuat sibel. Wong debit air tanahnya tanpa dieksploitasi saja sudah hampir tidak mencukupi kebutuhan warga. Apalagi jika air tanah itu dikeruk juga untuk mengairi sawah. Aku tidak mau melihat kampung kelahiranku dilanda kekeringan sehingga untuk minum saja harus mengemis ke PDAM.
Tapi... Siapa lah aku? Wong aku sudah tidak menjadi warga sana. Ngapain juga aku marah? Maaf, njih.
Dulu, saat kuliah, ada matakuliah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Di sana, kita diajari menganalisis dampak lingkungan secara fisik, sosial, maupun ekonomi. Paling tidak ketiga aspek itu perlu dipertimbangkan sebelum menjalankan suatu proyek.
Dari segi sosial, aku mendapati ada beberapa penolakan dan keberatan akan pembangunan sibel itu oleh beberapa warga. Alasan keberatan dan penolakan itu adalah takut sumurnya jadi kering akibat adanya sibel. Penolakan dan keberatan itu jika tidak diakomodasi dengan baik bisa menimbulkan friksi atau gejolak sosial dimana hal itu bisa dihindari dengan menerapkan AMDAL.
Sedangkan dampak fisik lingkungan bisa dikaji lebih jauh dengan memetakan kontur air tanah di daerah yang akan dibangun sibel. Dengan pemetaan ini, kita akan tahu lebih detail mengenai jaringan air di dalam tanah. Sehingga bisa menentukan titik mana yang memiliki dampak paling minim jika sibel tetap dibuat.
Dampak ekonomi bisa dikaji melalui seberapa banyak potensi ekonomi yang dihasilkan melalui pengadaan sibel tersebut. Misalnya seberapa banyak potensi kenaikan hasil panen secara kualitas dan kuantitas atau seberapa banyak sumur warga yang terdampak sibel sehingga mengganggu perekonomian warga. Jika kemunculan sibel ini berdampak pada keringnya sumur warga lantas PDAM merangsek masuk maka hal ini bisa dikategorikan sebagai dampak ekonomi juga.
Sebetulnya, masalah air di kampung halaman ini mau kuangkat sebagai tema skripsi saat itu. Hanya saja, setelah tanya ke Laboratorium UNS Solo, harga uji kualitas air secara fisika dan kimia mahal akhirnya tidak jadi. Waktu itu, harga uji per sampel Rp450.000 kimia. Kalau uji fisika lupa harganya.
Perhatianku terhadap masalah air di kampung halaman tidak berhenti di situ meskipun tidak jadi kugarap sebagai bahan penelitian. Musim kemarau yang akan datang, aku berencana mau membantu membangun sumur resapan beberapa titik di sana. Sekitar 15 atau 20 titik (semoga Allah meridhoi). Rencana ini sudah aku bicarakan dengan beberapa pihak. Jika Allah memberi rejeki, aku akan membangun sumur resapan itu dengan uang pribadi. Jika tidak, maka aku akan minta dana CSR perusahaan diangkut ke sana saja. Tentu saja jika warga setuju dengan rencana itu.
Kenapa aku lebih memilih membuat sumur resapan dan cenderung memusuhi sibel? Banyak daerah yang bisa dijadikan pelajaran. Katakanlah desa Jeruk, Kapuan Barat (kab. Blora), di sana dulu airnya sangat melimpah tapi sekarang warganya bergantung pada PDAM. Di Salatiga pun begitu sibel-sibel itu mengeringkan sumur warga. Walhasil sekarang sebagian warga menggunakan PDAM dan sebagian yang lain mengambil air dari sibel yang dimiliki pabrik karena sumur milik pribadi sudah kekeringan.
Ketika sibel berhasil dibuat dan mulai dioperasikan memang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum. Bisa sebagai air konsumsi ataupun air untuk produksi (sawah atau ternak). Akan tetapi, dampak negatifnya akan terasa lebih menyakitkan jika tidak dikaji dengan serius.
Sibel itu dampaknya memang terkadang tidak bisa dirasakan secara langsung. Baru bisa dirasakan setelah beberapa tahun berjalan. Tergantung debit air tanah yang terkandung di dalamnya. Kalau debit tersebut melimpah ya dampaknya akan dirasakan agak lama setelah dibuat. Akan tetapi kalau debitnya minim akan dirasakan segera setelah sibel mulai beroperasi. Paling tidak, tanda-tanda paling dekat adalah menurunnya badan air tanah di sumur-sumur warga. Jika misalnya sebelum ada sibel air sumur bisa diambil pakai gayung maka setelah ada sibel bisa diambil menggunakan timba karena semakin dalam. Jangka panjangnya sumur-sumur ini akan mengalami kekeringan.
Oleh sebab itu, manajemen pengolahan air harus diterapkan agar debit air tanah tidak habis. Jangan sampai manajemen yang amburadul menyebabkan banjir saat musim penghujan dan kekeringan saat musim kemarau. Bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan membuat sumur resapan yang cukup.
Jangan bilang "di desa, semua air kan memang sudah meresap ke tanah. Ngapain juga buat sumur resapan?". Jawaban singkatnya adalah: sebagian besar air itu meresap tapi bablas ke kali karena gak ada penampungnya. Jawaban panjangnya gak akan aku tulis di sini karena tujuanku menulis bukanlah itu.
Air tanah itu ibarat sebuah kendi. Jika air di dalam kendi itu cuma diminum saja tanpa diisi ulang maka akan habis isinya, bukan? Air tanah pun begitu. Untuk mengisinya tidak semudah mengisi kendi. Butuh proses yang panjang. Lha wong disuruh ngisi kendi saja banyak yang mengeluh, kok. Apalagi diajak ngisi air tanah yang cara dan proses ngisinya tidak semudah kendi. Padahal kalau sumurnya kekeringan pada sambat dan nunut nyedot di sumur tetangga yang sumbernya masih lancar.
Pak, buk, dan segenap perangkat yang bertugas. Maafkanlah aku jika nyinyir di sini. Aku hanya ingin menyampaikan pengetahuan yang kuterima dari fakultas Geografi ataupun dari komunitas pemerhati lingkungan yang aku ikuti.
Mohon maaf jika ada salah kata.
Post a Comment
Komentarlah yang baik.
Tujukkan Karakter Bangsa Indonesia.