Aku baru menemukan makanan tradisional ini saat di Bojonegoro. Sebelumnya, blas, belum pernah ngicipi. Makanan tradisional yang selalu kutunggu setiap sedang mudik. Iya, aku nungguin Mbel-mbel setiap kali mudik, nungguin ada yang ngadain selamatan bayi. Hahaha.
Ragam kuliner Indonesia yang terbuat dari ketan dan parutan kelapa dengan isian gula aren ini pertamakali kudengar saat si K masih di dalam kandungan. Kala itu abah K pulang kampung, aku sedang mabok-maboknya, ditinggal di Salatiga. Abah K bercerita jika Emak membuatkan mbel-embel untuk selametan si K yang masih berada di kandungan.
Penasran dengan bentuknya, aku meminta abah K untuk mengirim gambar. Sayang, waktu itu kamera handphone belum canggih. Gambarnya bruwet dan terkesan biasa saja. Enggak menggugah selera.
Pandanganku tentang Mbel-embel berubah drastis ketika sudah mencicipi. Its so delicious, wangi daun pisang menambah rasa sedapnya.
Pertama kali mengicipi saat si K sudah lahir dan mulai merangkak. Pertamakali buat saat kami berada di kampung dan menepati wetonnya si K.
Ya, Mbel-embel ini menjadi menu wajib saat kami mengenang kembali hari kelahiran kami dalam tanggalan Jawa. Orang kampung lebih mengingat weton daripada tanggal lahir Masehi. Mbel-mbel biasa dihidangkan saat selapan, sepasar, 3 bulan, 7 bulan dan 1 tahun bayi. Tentu, hitungan ini menggunakan kalender Jawa, bukan kalender masehi.
Saat bulan Muharram, beramai-ramai selametan weton lahir. Nyaris tiap hari adaaa saja yang selametan. Saat bulan Muharam 2019, kami sedang di kampung, setiap melihat mbah Nang pulang, si K pasti lari dan menagih berkat.
Mbel-Embel, campuran ketan dan parutan kelapa, diisi gula aren, dibungkus dengan daun pisang. Dikukus di dandang dengan api dari tungku kayu bakar.
Sedap.
Kudapan kecil yang mengenyangkan, yang belum pernah kutemukan di Salatiga. Jangan
tanya apa filosofi di baliknya, daku terlalu menikmati betapa lezatnya mbel-embel ini, sampai-sampai tidak ingin bertanya lebih lanjut ada apa di balik penamaan yang tak lazim.
Makna Dibalik Mbel-embel
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Meski sama-sama belalang, namun bisa jadi berbeda jenisnya. Nama mbel-embel berbeda di setiap daerah. Di beberapa desa di Salatiga menyebutnya awug-awug. Di Rembang menyebutnya iwel-iwel. Di Temanggung ada yang menyebutnya petotan.
Apapun namanya, mbel-embel memiliki makna yang agak mirip. Dalam keyakinan orang Jawa pada umumnya, bayi mempunyai sedulur kakang kawah adhi ari-ari. Setiap kali weton tiba, bayi kerap rewel dan diyakini bahwa bayi tersebut sedang diganggu oleh sedulur karena akn berpisah.
Mbel-embel dibuat agar bayi tidak rewel karena diciwel/ dicubit oleh saudara kakang kawah adhi ari-ari setiap kali akan berpisah.
Sound not realistis ya? Hahaha. Sama, aku pun terheran-heran. Tetapi emak K masuk di barisan emak-emak yang tetap melestarikan adat ini karena mengambil esensi doa yang hadir untuk bayi. Tidak ada yang salah dengan doa-doa setiap kali selamatan, bukan?
Post a Comment
Komentarlah yang baik.
Tujukkan Karakter Bangsa Indonesia.