Aku meyakini setiap orang akan memilih terlahir dalam kondisi normal jika mereka punya kesempatan untuk menentukan pilihannya itu sebelum dilahirkan. Tidak ada yang ingin dilahirkan dalam keadaan cacat fisik atau memiliki gangguan pendengaran sebagaimana yang dialami oleh istriku.
Istriku adalah
seorang tuna rungu. Dia hanya bisa mendengar suara-suara tanpa mengerti apa
maksud dari suara itu. Alat bantu dengar hanya bisa memperbesar suara namun
tidak dapat membantunya menerjemahkan kedalam bahasa yang dimengerti. Sudah
banyak dokter yang dikunjungi namun belum bisa memberikan solusi sesuai
harapan. Pun pengobatan alternatif belum ada yang jodoh dengannya.
Selain melalui
media tulisan, istriku biasa berkomunikasi dengan cara membaca gerak bibir lawan
bicara. Meskipun masih sering terjadi miskomunikasi, sih. Namun hal itu cukup
membantunya untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Masalahnya terjadi
di saat pandemi covid-19 seperti ini. Ketika hampir semua orang menggunakan
masker dalam beraktivitas sehar-hari. Itu artinya dia tidak lagi bisa membaca
gerak mulut lawan bicara karena tertutup oleh masker. Orang yang tidak tahu
kondisi istriku bisa saja jengkel dan menganggapnya angkuh karena tidak merespon
saat diajak bicara.
Istriku biasa
berbelanja ke pasar atau mengakses layanan publik seorang diri. Namun, sejak
pandemi terjadi membuatnya tak lagi bisa berkomunikasi lancar dengan lawan
bicara. Masker menjadi barrier antara mereka. Terlebih lagi tidak semua
penjual di pasar tradisional itu bisa membaca dan menulis. Kalaupun bisa, belum
tentu semuanya mau melayani komunikasi melalui tulisan yang ribet itu.
Sebagai suami,
aku juga terkena dampak dari penggunaan masker masal itu. Istriku yang sering
merasa ketakutan kena damprat dari lawan bicara karena slenco memintaku
untuk menggantikan posisinya untuk urusan yang membutuhkan interaksi dengan
orang asing. Masalahnya hal itu tidak bisa selalu kupenuhi karena kepentok
pekerjaan. Walhasil dia seringkali terpaksa melakukannya sendiri.
Aku meminta
istriku memanfaatkan kesempatan itu untuk menyuarakan nasib kaum penyandang
disabilitas sepertinya. Aku memintanya mendokumentasikan pengalamannya
mengakses layanan publik selama masa pendemi berlangsung seperti ini. Aku
katakan padanya kalau dia masih beruntung ada orang-orang terdekat yang mau dan
bisa membantu di saat sedang membutuhkan bantuan. Masih ada aku dan keluarga
yang siap membantu jika memang benar-benar dibutuhkan. Namun di luar sana
banyak teman-temannya sesama tuna rungu yang tidak punya siapa-siapa untuk
dimintai bantuan. Mereka mau tidak mau harus mengakses layanan publik itu
dengan bersusah payah.
Dibalik tritnya
Tuli Pergi ke Bank di Tengah Pandemi di Twitter yang sempat viral itu, sebetulnya ada hal tidak
menyenangkan terjadi di balik layar. Aku membutuhkan waktu dua hari untuk
meyakinkan dia agar mau pergi ke bank seorang diri. Alasan yang kusampaikan
tentu saja pekerjaan meskipun sebetulnya bukan itu. Kami sempat bersitegang
saat membicarakan hal itu. Aku bersikeras memintanya datang seorang diri untuk
melihat seperti apa layanan publik itu dilakukan kepada penyandang disabilitas
saat pandemi ini terjadi. Toh kalau ada apa-apa masih ada aku, keluarga, bahkan
pak bos yang siap mem-backup.
Istriku adalah
seorang blogger. Sudah ratusan tulisan dibuat olehnya untuk diterbitkan di blog
sendiri maupun untuk orang lain. Salah satu blog yang kami kelola bahkan sampai
mendapat kunjungan 20 ribu per hari. Oleh sebab itu, aku memintanya untuk
mendokumentasikan pengalamannya mengakses layanan publik menjadi semacam
testimoni. Aku berharap ada social impact dari apa yang dilakukannya itu
meskipun harapannya sangat kecil.
Setelah
kejadian di perbankan itu, aku sebetulnya meminta istriku mengulangi sekali
lagi untuk mencoba layanan kesehatan seorang diri. Kebetulan saat ini dia
sedang hamil. Aku memintanya untuk periksa seorang diri sedangkan aku cukup
mengantar saja. Akan tetapi dia menolak. Tidak mau coba-coba lagi. Ya wis,
lah. Dijalani saja. Manut apa jarene gusti.
Aku sih tidak
berharap semua orang akan memperlakukan istriku atau penyandang disabilitas
lainnya dengan perlakuan istimewa. Tidak berharap juga diberikan hak prioritas.
Artikel-artikel yang dibuat itu juga bukan dibuat dalam rangka mengemis kepada
pemerintah, stakeholder, atau pengelola layanan publik agar memberikan
hak istimewa pada istriku. Aku meminta istriku bersuara agar orang-orang normal
itu sadar bahwa ada orang-orang spesial yang hidup berdampingan dengan mereka.
Aku berharap
tidak ada lagi yang sok kaget lalu berkata “Ayu-ayu tapi kok budheg”. Meskipun
kenyataannya iya istriku memang budheg tapi jika panggilan itu disematkan
padanya kok rasanya ya tetap sakit hati. Bayangkan saja bagaimana perasaan
kalian jika istri kalian digunjing saat mau mengakses fasilitas publik atau
sekedar mampir di warung makan “itu tu! anak budheg datang lagi. Kamu saja yang
melayani”.
Post a Comment
Komentarlah yang baik.
Tujukkan Karakter Bangsa Indonesia.