Kuliahmu?
Emm, tapi suami tetap membolehkan ngajar, kan?
Err, sayang IP-mu.
Ih, kamu kan, cerdas? (aaamiiiiin :D)
Dan serentet pertanyaan dari sahabat-saudara yang care ketika aku memutuskan untuk menikah dengan tiga buah prasyarat dari suami yang salah satunya adalah; tidak boleh jadi PNS. (Wanna say big thanks, super big thanks)
Tentu saja aku memutuskan ini dengan perenungan yang lumayan panjang, istikharah, hingga Allah mendatangkan pertanda-pertanda. Konon, salah satu patokan hasil istikharah adalah ucapan atau perilaku orang-orang sekitar.
Sehari setelah istikharah, seorang sahabat bercerita tentang adik yang didampinginya mengalami kesulitan belajar yang lumayan berat. Setelah diselidiki lebih jauh ternyata orang tuanya, keduanya adalah abdi negara di sebuah instansi pendidikan yang super sibuk hingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk anak-anaknya.
Pada titik ini aku hanya mengajak sahabat berdiskusi, memintanya untuk menggunakan pendekatan seorang ibu dan menjadi tempat curhat bagi adik yang didampinginya. Kemudian kembali ke dalam kehidupan yang penuh pethakilan; membaca novel, hunting buku, hingga mbolang bersama anak-anak. Melupakan soal cerita teman itu.
“Aku nggak daftar CPNS, kok.” Aku mengelak ketika teman-teman heboh soal CPNS, dalam mimpi dua hari setelah istikharah.
Sampai disini masih menagih ke Robbuna agar mengirim pertanda istikharah lagi.
“Nggak usah jadi PNS, Nduk.” Dhawuh bapak sambil menghirup rokoknya. Pernyataan yang berbuntut diskusi panjang, beberapa kali mendebat argumen bapak. Tetap saja, si bontot melawan bapak yang sudah mengalami berbagai pengalaman kalah telak.
Aku terkesiap. PNS lagi, PNS lagi, kenapa rasanya hari-hariku tidak jauh dari soal PNS?
“Minimal, anakmu kamu asuh sendiri sampai usia lima tahun! Jangan sampai diasuh orang lain.” titah Yai.
“Meski diasuh ibu sendiri, Pak?”
“Meskipun ibumu sendiri, Nduk.” Yai mengangguk sembari tersenyum.
Kisah tentang ibu di Jepang muncul di beranda, seorang sahabat men-share kisah tersebut di facebook.
Slide-slide peristiwa itu berulang kali terlintas. Ada perasaan aneh, aku belum cerita tentang pra syarat dari (calon) suami, tetapi orang-orang di sekitar tetiba mulai membincang tentang PNS, ibu rumah tangga dan pengasuhan anak. Grrrrhhhh.
Lalu, aku kembali tercekat dengan diskusi-diskusi panjang tentang ibu profesional.
Widut, kurang?
Oh, My... Aku belum siap...
Aku memutuskan untuk bercerita apapun tentang peristiwa seminggu tidak sowan ndalem Yai.
“Hati-hati tentang lamaran lelaki. Jika dia sholatnya bagus, tak ada alasan syar’i untuk menolaknya, dan hasil istikharahmu bagus, jangan sekali-kali menolak lamarannya...” Yai menghirup nafas dalam-dalam, “dan, orang yang siap dengan istri sepertimu, Nduk? Seribu satu.”
“Sudah saya bantu istikharah, hasilnya juga bagus, kan?”
Mataku berkaca-kaca menyimak dhawuh Yai. Siapa yang siap dengan istri sepertimu, Dhut? Berkelindan dalam ingatan, tentang telinga, hujatan orang-orang, masa lalu... dan polah yang super pethakilan. Ini pun nggak nyangka ada yang menawarkan diri.
Aku pun memantabkan diri. Berpegang pada istikharah.
“Tetapi, tahun depan nggak papa ya, Pak?” aku kembali menawar, “kulo dereng siap.”
Yai mengangguk sembari tersenyum. Senyum yang menyiratkan sesuatu. Ah, entahlah, kepalaku keburu penuh dengan satu hal itu. Hei, WiDut masih betah jomblo!
Post a Comment
Komentarlah yang baik.
Tujukkan Karakter Bangsa Indonesia.