Katamu aku tuli, tetapi kenapa masih saja kamu menggertakku kala aku tak mampu menangkap katakatamu? harusnya, kamu maklum. Biarlah, dia tuli. Bukan begitu?
Katakata itu kembali terngiang. babakbabak yang membuat saya betah menangis lama kembali berputar di otak dengan sangat jelasnya kala saya mengikuti pelatihan kader PAUD hari kedua.Ya! babak yang menyadarkan saya bahwa saya tidak sama dengan teman-teman saya, membuat saya harus mengangguk kala Bu Enjang menjelaskan tentang CAP atau LABEL.Bahwa CAP atau LABEL yang ditujukan kepada kita saat kecil akan melekat kuat dalam otak. bahwa sakit akibat kata akan bertahan lebih lama daripada sakit akibat kekerasan fisik.
Saya tidak membual. saya tak lagi merasakan tamparan guru matematika saya saat SMP. Bahkan saya tak ingat lagi di mana cubitan ibu saat saya ngamuk gulingguling di lantai.Tetapi, katakata itu sangat melekat di hati saya, bahkan saya ingat detil kejadiannya. Padahal waktu itu saya masih duduk di TK NOL kecil, sekitar 4 tahun. Lima belas tahun yang lalu. apa? LIMA BELAS.
Keceriaan bersama temanteman masih terbayang di mata saya. Saya berlari menyusuri jalan menuju rumah dengan penuh semangat, sendirian tentu saja.
"Tiiitttt tittttt!" bunyi apa itu? Entah. di sebelah kiri saya ada gerombolan ulat alpukat menggeliat. Takut! Hiiii. saya menepi ke kanan, eeeh, menengah untuk menghindari ulatulat itu. Saya tak perduli lagi bunyi tadi.
Seorang perempuan tua menunjuknunjuk ke arah belakang saya.Saya menoleh, sebuah truk merah berhenti sekitar 0.5 meter di belakang saya. Saya langsung menuju ke bahu kanan jalan, tanpa merasa bersalah.
"Dasar budheg! eng ing eng." jangan tanya kelanjutannya, semacam kutukan. Saya memang tidak mampu mendengar ucapannya, namun mata saya bisa membaca gerakan mulutnya. Sejak saat itu, saya sadar jika ada yang tidak beres dengan telinga saya. Sampai di rumah, saya mengadu kepada Ibu. Ibu hanya tersenyum. Sekarang saya tahu makna senyum Ibu, Ibu lebih sakit daripada saya.
Hiaaa. Kok ngelantur gini? Lhoh, saya hanya berbagi cerita saja. Saya miris, hati saya panas saat mendapati cacian yang ditujukan kepada anak kecil. Saya saja sakit hati saat menyadari ucapan itu (Saat kecil, saya tak tahu apa itu sakit hati), meski sebenarnya daya dengar saya memang lemah. Apalagi mereka yang tak pantas mendapatkan label yang jelasjelas nggak banget.
Katamu aku nakal. Kenapa masih saja kamu marah saat aku nakal? Harusnya kamu maklum. Biarlah, dia memang nakal. bukan begitu? Mungkin ini yang akan keluar dari adikadik saya jika dia sadar label yang ditujukan kepadanya. saya semakin bersalah. Mata saya kabur saat Bu Enjang menjelaskan pernakpernik CAP atau LABEL yang sangat berbahaya. Saya malu ketika menyadari bahwa adikadik saya tidak pantas disebut nakal.
Mereka cerdas, sangat aktif, bukan nakal! katakata ini menggedorgedor hati saya saat kenangan bersama DIk Tegar berputar, saat saya dengan gampangnya berteriak nakal ketika mendapati gambar matahari tersenyum di buku saya. Bukankah itu pertanda bahwa Dik Tegar sangat cerdas? Bukankah adalah hal yang hebat, anak umur 3 tahun sudah akrab dengan buku dan pena?
Robbuna! saya tak mampu membayangkan jika kelak saya digugat atas ucapan saya yang melekat kuat di hati adikadik saya, yang cenderung berkonotasi negatif. Pantaskah saya menyebut diri sebagai penyayang anak kecil jika sikap saya tak berubah? Jika saya masih saja melabeli adikadik saya dengan hal yang negatif?
Saya ingin belajar mengganti ucapan saya dengan hal yang positive saja. Bisakah? Semoga!
Mustika Ungu
3 Juni 2011
* Kepingan kecil oleholeh pelatihan kader PAUD 30 Mei-1 Juni 2011
Katakata itu kembali terngiang. babakbabak yang membuat saya betah menangis lama kembali berputar di otak dengan sangat jelasnya kala saya mengikuti pelatihan kader PAUD hari kedua.Ya! babak yang menyadarkan saya bahwa saya tidak sama dengan teman-teman saya, membuat saya harus mengangguk kala Bu Enjang menjelaskan tentang CAP atau LABEL.Bahwa CAP atau LABEL yang ditujukan kepada kita saat kecil akan melekat kuat dalam otak. bahwa sakit akibat kata akan bertahan lebih lama daripada sakit akibat kekerasan fisik.
Saya tidak membual. saya tak lagi merasakan tamparan guru matematika saya saat SMP. Bahkan saya tak ingat lagi di mana cubitan ibu saat saya ngamuk gulingguling di lantai.Tetapi, katakata itu sangat melekat di hati saya, bahkan saya ingat detil kejadiannya. Padahal waktu itu saya masih duduk di TK NOL kecil, sekitar 4 tahun. Lima belas tahun yang lalu. apa? LIMA BELAS.
Keceriaan bersama temanteman masih terbayang di mata saya. Saya berlari menyusuri jalan menuju rumah dengan penuh semangat, sendirian tentu saja.
"Tiiitttt tittttt!" bunyi apa itu? Entah. di sebelah kiri saya ada gerombolan ulat alpukat menggeliat. Takut! Hiiii. saya menepi ke kanan, eeeh, menengah untuk menghindari ulatulat itu. Saya tak perduli lagi bunyi tadi.
Seorang perempuan tua menunjuknunjuk ke arah belakang saya.Saya menoleh, sebuah truk merah berhenti sekitar 0.5 meter di belakang saya. Saya langsung menuju ke bahu kanan jalan, tanpa merasa bersalah.
"Dasar budheg! eng ing eng." jangan tanya kelanjutannya, semacam kutukan. Saya memang tidak mampu mendengar ucapannya, namun mata saya bisa membaca gerakan mulutnya. Sejak saat itu, saya sadar jika ada yang tidak beres dengan telinga saya. Sampai di rumah, saya mengadu kepada Ibu. Ibu hanya tersenyum. Sekarang saya tahu makna senyum Ibu, Ibu lebih sakit daripada saya.
Hiaaa. Kok ngelantur gini? Lhoh, saya hanya berbagi cerita saja. Saya miris, hati saya panas saat mendapati cacian yang ditujukan kepada anak kecil. Saya saja sakit hati saat menyadari ucapan itu (Saat kecil, saya tak tahu apa itu sakit hati), meski sebenarnya daya dengar saya memang lemah. Apalagi mereka yang tak pantas mendapatkan label yang jelasjelas nggak banget.
Katamu aku nakal. Kenapa masih saja kamu marah saat aku nakal? Harusnya kamu maklum. Biarlah, dia memang nakal. bukan begitu? Mungkin ini yang akan keluar dari adikadik saya jika dia sadar label yang ditujukan kepadanya. saya semakin bersalah. Mata saya kabur saat Bu Enjang menjelaskan pernakpernik CAP atau LABEL yang sangat berbahaya. Saya malu ketika menyadari bahwa adikadik saya tidak pantas disebut nakal.
Mereka cerdas, sangat aktif, bukan nakal! katakata ini menggedorgedor hati saya saat kenangan bersama DIk Tegar berputar, saat saya dengan gampangnya berteriak nakal ketika mendapati gambar matahari tersenyum di buku saya. Bukankah itu pertanda bahwa Dik Tegar sangat cerdas? Bukankah adalah hal yang hebat, anak umur 3 tahun sudah akrab dengan buku dan pena?
Robbuna! saya tak mampu membayangkan jika kelak saya digugat atas ucapan saya yang melekat kuat di hati adikadik saya, yang cenderung berkonotasi negatif. Pantaskah saya menyebut diri sebagai penyayang anak kecil jika sikap saya tak berubah? Jika saya masih saja melabeli adikadik saya dengan hal yang negatif?
Saya ingin belajar mengganti ucapan saya dengan hal yang positive saja. Bisakah? Semoga!
Mustika Ungu
3 Juni 2011
* Kepingan kecil oleholeh pelatihan kader PAUD 30 Mei-1 Juni 2011
Post a Comment
Komentarlah yang baik.
Tujukkan Karakter Bangsa Indonesia.