Perawakannya kurus tinggi. Rambutnya acak-acakan. Gurat tirus sangat
kentara di wajahnya. Bajunya kumal dengan warna kusam, entah berapa lama baju
itu melekat di badannya tanpa dicuci. Sepasang alis tebal bertengger di atas
matanya. Ia melangkah mantap tanpa alas kaki meski sedikit bungkuk. Ada
sisa-sisa ketegapannya di masa muda.
Aku memanggilnya pak Soleh, kakak mbah Putri yang dikenal orang sebagai
orang yang tak lagi waras. Dulu aku menganggapnya orang gila. Aku selalu
memegang lengan bapak erat-erat ketika memasuki rumahnya yang pengap saat
lebaran tiba. Rumah yang terlihat paling kumuh di Gentungan, sebuah dusun di
Setandan pisang tersedia di pinggiran. Gelap, sesekali aku terbatuk-batuk
tak tahan dengan asap yang mengepul dari pawon. Tak ada listrik di rumahnya,
hanya satu senthir yang berhasil kutemukan menggantung di cagak. Rumah gedhek
tanpa cat, tanpa paku. Rumah yang ia bangun seorang diri dengan bahan yang ada
di sekitarnya. Ia tak mengenal paku, aku melihatnya seperti orang yang tengah
hidup di Rimba belantara.
Aku tahu pak Soleh membangun rumahnya seorang diri dari cerita bapak. Ia
tak pernah sekalipun meminta bantuan orang. Menganyam gedhek[1],
mendirikan cagak, hingga memasang genting ia lakukan sendiri. Mengaitkan antar
rangka dengan lilitan serat randu, bambu, tanpa paku, tanpa kawat. Sekeliling
rumahnya ia tanami bunga pedang-pedangan, yang bagiku hanyalah lelucon belaka.
Aneh!
Beberapa tahun yang lalu saat aku tengah menyambangi rumah saudara mbah
Putri, aku dikagetkan dengan munculnya dua rumah gedhek yang masih
terlihat baru. Aku pun tercekat, untuk apa? Padahal pak Soleh hidup seorang
diri. Ia tak memiliki istri, apalagi seorang anak. Masalah perempuanlah yang
disinyalir menyebabkan kegilaan pak Soleh.
Sosoknya yang tinggi tengah menjemur cengkih. Saat aku mendekatinya dan
beruluk salam, ia hanya memandang datar. Melanjutkan keasyikannya memilih-milih
cengkih.
“Buat apa itu cengkihnya, Pak?” aku bertanya kepada pak Men, adik mbah
Putri yang tinggal di sebelah rumah pak Soleh.
“Gawe udud lah, lha gawe opo meneh[2]?”
pak Men menjawab dengan deraian tawa, buat merokok, katanya.
“Lha mbakone, tumbas?[3]”
“Ora, nandur kebon. Dirajang dhewe[4].”
Glek!
Cerita bapak ternyata bukan sekedar dongeng belaka. Pak Soleh adalah jenis
orang gila yang istimewa. Ia tak pernah mengganggu orang, asyik dengan hidupnya
sendiri, memenuhi kebutuhannya sendiri. Ia makan dari umbi-umbian yang ditanam
di pekarangan. Sesekali ia menerima pekerjaan dari tetangga, mencangkul.
Cangkulannya rapi, kata bapak. Upah mencangkulnya ia kumpulkan, sedikit demi
sedikit. Untuk membeli genteng, membangun rumah (lagi). Jika ada penghargaan
Rumah yang Paling Banyak Diperbaharui, maka pak Soleh inilah orangnya. Rumahnya
berulangkali dirubuhkan, dibangun kembali. Dengan tenaga sendiri, dengan
tagannya sendiri.
“Kowe ki opo, delok’en pak Soleh kae lho, tekan Solotigo we mlaku. Lha
kowe? Gur tekan dalan gedhe ora ono sing ngeterke nesu.[5]”
Bapak tertawa sembari geleng-geleng kepala. “Padal pak Soleh ora nggowo
sandal. Pancen anak siji iki manjane ora ketulungan[6].”
Aku menundukkan kepala. Mengukur diri. Pak Soleh jalam kaki sampai
Salatiga, yang dari rumahnya berjarak hampir sepuluh kilometer, tanpa alas
kaki. Sementara aku hanya sampai jalan raya saja maunya diantar, jaraknya nggak
ada satu kilometer.
“Memang pak Soleh ngapain ke Salatiga?”
“Tuku gendheng[7],
apalagi?”
Robbuna!
Orang seperti pak Sholeh bagiku masih saja membuatku geleng-geleng kepala
hingga aku menulis ini. Aku begitu penasaran dengan jalan hidup pak Sholeh.
Penasaran bagaimana bisa beliau menjadi orang setengah waras setengah tidak.
Adhuh, makin kesini kata-kataku makin aneh. Pagi itu ketika bapak asik di depan
pawon, aku bertekad untuk bertanya sedetail-detailnya. Harus.
“Pak Sholeh ki di santet!” celetuk bapak sembari memperbaiki posisi kayu
bakar.
“Hah? Masa iya?”
Aku menggaruk-garuk kepala. Aneh, pikirku. Satu, aku berpikir jika santet
itu hanya hoax belaka. Dua, tempat tinggal pak Sholeh adalah lingkungan sekitar
pondok al Irsyad. Tiga, pak Sholeh setahuku bukan orang kaya, ngapain disantet?
Bapak terkekeh seperti biasanya saat menanggapi anak bungsunya yang super
cerewet. Beliau lantas mengambil dingklik. Sembari mengelupas singkong yang
baru saja dibakar di bara pawon, bapak menuturkan ceritanya. Tentang pak Sholeh
yang dulu ternyata seorang perjaka bagus. Perjaka primadona kampung.
Pak Soleh seorang kernet yang sangat ditakuti. Jaman dulu, garong adalah
hal yang lumrah dijumpai di jalanan. Apalagi jalan-jalan yang dilintasi
truk-truk bermuatan bahan pokok. Bapak bercerita, pak Sholeh adalah seorang
yang tangguh. Ilmu beladiri-aku tak paham ilmu apa yang beliau kuasai- membuat
para perampok lari lintang pukang.
“Tahu apa yang paling susah ditangani pak Soleh?”
Aku menggeleng seraya memelototi singkong bakar di tangan bapak.
“Kethek!”
Hah? Kera?
Kami lantas tertawa berderai-derai, “Kok kethek, Pak?”
“Jaman segitu masih hutan doang, binatang-binatang masih banyak.”
Aku tertawa geli membayangkan pak Soleh jungkir balik melawan gerombolan
kera. Mungkin mirip naruto yang harus melawan gerombolan monster-monster aneh.
Bapak lantas menggigit singkong bakar. Tangannya kehitaman terkena angus.
Saat itu, pak Soleh memperistri seorang bunga desa. Aku tak tahu persis
siapa namanya, sebut saja mbah Yem. Mbah Yem yang cantik, bunga desa, tentu
saja klop bersanding dengan pak Soleh yang primadona kampung.
“Ada yang nggak suka pak Soleh memperistri mbah Yem. Orang itu kalah
saingan dengan pak Soleh.”
Aku susah payah membaca mulut bapak yang sesekali penuh dengan singkong
bakar. Berulang kali aku meminta bapak mengulang. Aku tertawa ketika menunggu
bapak menelan singkong bakarnya.
Orang itu dikenal sebagai orang ‘alim di kampung. Tak terima mbah Yem
dipersunting pak Soleh, orang itu pun mengambil jalan pintas; santet.
“What? Apa, Pak? Orang ‘alim?”
Bapak menyebut sebuah nama. Aku tertegun. Yang benar saja?
“Kok nggak percaya? Ya begitulah. Wong ‘alim kuwi yo menungso. Nek ra kuat,
pintere dadi gaman.”
Aku beristighfar berulang-ulang. Orang ‘alim saja bisa tergelincir, apalagi
aku, ngaji saja pontang-panting melawan bisikan antah-berantah.
Pak Sholeh hilang akal sejak saat itu. Kumat-kumatan. Entahlah, apakah
cerita ini benar atau hanya rekaan orang-orang saja. Mbah Putri membenarkan
saat aku menanyakan cerita bapak. pak Sholeh yang primadona kampung.
Bayang wajan kecil berisi mie instan yang sudah menjamur di rumah pak
Sholeh kembali hadir di otakku. Aku menelan ludah. Saat itu pak Sholeh
mengangguk dengan mata yang berbinar saat aku bertanya apakah mie itu akan
dimakan. Binar mata yang berkata seolah-olah mie yang telah menjamur itu adalah
makanan yang sangat lezat.
[1] Anyaman bambu
[2] Untuk merokok, lha buat
apa lagi?
[3] Lha tembakaunya beli?
[4] Tidak, nanam sendiri
[5] Kamu itu apa, lihat pak
Sholeh itu lho. Sampai Salatiga jalan kaki, lha kamu? Haha, Cuma sampai jalan
raya nggak diantar ngambek.
[6] Padal pak Sholeh nggak
pake sandal. Memang anak satu ini manjanya nggak ketulungan.
[7] Beli genting (atap)
Post a Comment
Komentarlah yang baik.
Tujukkan Karakter Bangsa Indonesia.