Dibalik Layar Berburu Salah
Asuhan
Medio Mei 2016,
Sahabat Blogger KAH yang beranggotakan saya, mbak Rani R Tyas dan mbak Arinta
Adiningtyas, mengadakan tantangan untuk membuat review novel angkatan Balai
Pustaka. Bermula dari perbincangan tentang Sitti Nurbaya, topik pembicaraan
kami melebar untuk menulis tentang novel yang sekarang jarang dilirik. Masalah
datang ketika saya menyadari bahwa tidak ada novel angkatan Balai Pustaka di
perpustakaan mini di rumah, sementara saya tidak leluasa keluar karena Kevin,
jagoan saya baru berusia empat bulan.
Berbekal
handphone milik suami dan koneksi indihome telkomsel, saya berselancar di
google untuk mencari novel angkatan Balai Pustaka dalam bentuk digital.
Pencarian ini mengantarkan saya pada Pustaka Digital (PaDi) yang digagas oleh
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada alamat padi.qbaca.com. Belum selesai
kegembiraan saya karena menemukan novel Salah Asuhan yang saya incar, saya
dibuat berdecak kagum karena PaDi menyediakan buku-buku lain yang bisa dibaca
dengan gratis via Gadget. Ya, bermodal koneksi internet Indihome Telkomsel
Indonesia, saya bisa membaca buku-buku yang saya inginkan sampai tuntas.
Salah Asuhan dalam Genggaman
Novel Salah
Asuhan merupakan salah satu dari sekian banyak koleksi PaDi yang dapat dibaca
dengan gratis. Novel ini merupakan salah satu novel Abdul Muis yang pertamakali
diterbitkan pada tahun 1928, ditulis dalam 27 Bab.
Judul Buku:
Salah Asuhan
Pengarang:
Abdul Muis
Penerbit:
Balai Pustaka
Tahun Terbit:2010
Memindai Kembali Salah Asuhan
Perbincangan tentang
perbedaan pergaulan anak Eropa dan Bumi Putera antara Hanafi dan Corrie di
tempat bermain tennis berlangsung panas. Hanafi, yang benci dengan adatnya
sendiri, menuturkan bahwa adat Minangkabau yang sangat membatasi pergaulan
antara anak perempuan dan laki-laki. Di Eropa, negara asal Corrie, pergaulan
antara laki-laki dan perempuan sangat longgar. Perbincangan ini berujung
sengit.
Lepas
berbincang dengan Hanafi, Corrie melanjutkan perbincangan dengan Tuan De
Brussee, ayahnya, tentang perkawinan campur. Sebenarnya, mama Corrie merupakan
orang pribumi, tetapi Tuan de Brussee tidak setuju dengan adanya perkawinan
campuran, menilik dari keterasingan yang diderita oleh Tuan de Brussee hingga
istrinya meninggal pada saat Corrie berusia 6 tahun. Tuan de Brussee berceramah
panjang-panjang, menekankan pada Corrie betapa sengsaranya jika perkawinan
campur itu ia tempuh.
“Kawin
campuran itu sesungguhnya banyak benar rintangannya, Corrie! Karena
masing-masing manusia dihinggapi oleh suatu penyakit kesombongan bangsa.....
Jika nyonya itu sampai beranak, dipandang bahwa ia turut mengurangi derajat
bangsa Eropa. “
Kebencian
Hanafi dengan adatnya sendiri tidak hanya terungkap dalam gaya pakaian dan
bahasanya yang kebarat-baratan. Dalam perihal isi rumah pun, ia juga meniru
barat dan menganggap jijik segala hal yang dilakukan oleh pribumi. Bahkan, ia
pun tega menyakiti hati ibu dan nyinyik-mamaknya dengan perlakuan yang sangat
tidak sopan, menolak perjodohan dengan Rapiah, anak Sutan Batuah yang padanya
ibu Hanafi banyak berhutang budi untuk membiayai sekolah Hanafi. Corrie
bimbang, menimbang-nimbang tentang perasaanna kepada Hanafi. Baginya, hubungan
mereka berdua sekedar hubungan persahabatan. Ia Corrie lari, meninggalkan
Hanafi tanpa permisi.
Corrie
memutuskan untuk pergi karena merasa ia mencintai Hanafi, tetapi tidak bisa
menjadi istrinya. Ia pun menulis surat untuk pamitan kepada Hanafi. Sepeninggal
Corrie, Hanafi seperti kehilangan gairah hidup, sakit panas hingga dua minggu
lamanya. Pada saat sakit itulah, Hanafi menerima saran ibunya untuk memperistri
Rapiah. Bukan karena ia telah melupakan Corrie, tetapi karena ia luluh untuk
membalas hutang budi kepada mamaknya, Sutan Batuah.
Hanafi tak
pernah sekali pun menganggap istrinya ada, meskipun telah lahir Syafei, anak
mereka berdua. Menumpahkan segala kekesalannya kepada Rapiah. Menuduh Rapiah
sebagai penyebab dijauhi teman-temannya. Namun, Rapiah hanya bersabar dan
berusaha keras melaksanakan tugasnya agar tidak dimarahi oleh Hanafi.
Tak tahan
dengan sikap Hanafi terhadap Rapiah, tanpa sengaja Ibu Hanafi menyumpahi
anaknya. Ketika ibunya menasehati Hanafi, tetiba ada anjing gila yang
menggingit Hanafi dan mengharuskan Hanafi berobat ke Betawi.
Kepergian
Hanafi ke Betawi mempertemukan Hanafi dengan Corrie yang telah menghilang.
Babak baru kehidupan Hanafi pun dimulai, Hanafi enggan pulang ke Solok.
Memutuskan untuk tetap tinggal di Betawi bersama Corrie yang kini hidup
seeorang diri, ayahnya, tuan De Brussee telah meninggal. Kata-kata Corrie semakin
menguatkan tekad Hanafi untuk tetap tinggal di Betawi, meninggalkan ibu,
meninggalkan Rapiah dan anaknya, Syafei.
“Alangkah
Sepinya Hidupku bila engkau kembali ke Sumatra Barat.” (Bab Pertemuan Jodoh)
Apakah
kehidupan Hanafi dan Corrie berlangsung sesuai dengan yang diimpikan tanpa aral
melintang? Bagaimana nasib Rapiah dan Syafei, anaknya? Apakah Hanafi berubah
atau tetap pada perangainya yang mudah marah?
Nyatanya,
Hanafi dan Corrie berpisah, keangkuhan Hanafi telah memisahkan keduanya. Rumah
Tangga keduanya tidak senyaman dan seindah yang dibayangkan. Tidak tahan dengan
sikap Hanafi yang mudah curiga dan marah, Corrie pergi meninggalkan rumah.
Kemana Corrie
pergi? Bahay apa yang mengincar Corrie di luar sana? Berhasilkah Hanafi
menemukan Corrie kembali? Bagaimana pertemuan keduanya? Apa kabar Rapiah dan
Syafei? Apa kabar ibu Hanafi? Kalian bisa menemukan jawabannya saat membaca
novel Salah Asuhan di PaDi, Putaka Digital pada padi.qbaca.com.
Serba-serbi Salah Asuhan
Abdul Muis cukup berani menuliskan novel Salah Asuhan yang memperbincangkan
pertentangan budaya timur dan barat di bawah pengawasan ketat pada masa
kolonial dan ancaman penjara bagi sesiapapun yang menentang pemerintah kolonial.Dengan
kiprahnya yang berani ini, Abdul Muis ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh
Presiden Soekarno tanggal 30 Agustus 1995.
Salah Asuhan merupakan satu dari tiga novel karya Abdul Muis. Ketiga novel
karya Abdul Muis, Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933) dan Surapati
(1950) memiliki tema yang mirip, yakni lika-liku kisah percintaan dua anak
manusia pada masa penjajahan kolonial Belanda.
Salah Asuhan pun memiliki kemiripan dengan novel Sitti Nurbaya pada
zamannya, tentang pertentangan budaya Tmur dan Barat serta kisah perjalanan
cinta dua anak manusia yang memiliki ending yang sama; tokoh utamanya meninggal
dunia. Bedanya, pada Salah Asuhan lebih berani dengan mempersandingkan tokoh
lintas bangsa Eropa dan Minangkabau dalam kisah percintaan.
Mengambil latar belakang tempat di Solok, Sumatera Barat; Betawi; Semarang
dan Surabaya, Abdul Muis mengusung tokoh dengan karakter yang kuat.
Hanafi cenderung pencemburu, pemarah, sombong dan mudah tersinggung.
Memandang rendah bangsa sendiri, sangat tidak suka jika ada yang menyerempet
tentang statusnya yang Bumi Putera.
“Aku tahu betul bahwa aku Bumiputera, Corrie! Janganlah kau ulang-ulang
juga!” (Dalam Dua Orang Sahabat)
Corrie de Bussee merupakan gadis hasil perkawinan campuran antara Pribumi
dan Pranciss. Namun, Corrie tidak mau mengakui budaya ibunya yang pribumi. Corrie
berwatak tidak tegas dan mudah emosi. Tetapi, Corrie sejatinya merupakan
seorang perempuan yang mudah berbelas kasihan.
Mariam, Ibu Hanafi, sebagaimana perempuan Minangkabau pada umumnya, ia
cenderung sederhana, penyabar dan pemaaf meski Hanafi berulangkali menyakiti
hatinya. Lekat dengan adat Minangkabau yang dianggap kampungan oleh Hanafi,
cenderung menyukai duduk di lantai daripada duduk di kursi.
Tidak jauh beda dengan Mariam, Rapiah, istri Hanafi pun mempunyai sifat
yang luar biasa sabar menghadapi tingkah laku suaminya. Lekat dengan adat
Minang yang cenderung agamis, Rapiah membiasakan puasa sunah Senin-Kamis. Hal
ini terlihat ketika Rapiah mengabarkan kepergian Hanafi kepada ibunya, “sudah
kedelapan kali kamis ini aku berpuasa sunat,ibu ,dan selama itu pula ayah Syafei
meninggalkan kita”
Berkaca dari perkawinannya dengan ibu Corrie yang
merupakan orang pribumi, Tuan De Bussee sangat menentang perkawinan campuran.
Berbeda 180 derajad dengan Corrie yang menyukai pergaulan dan keramaian, Tuan
de Busse merupakan orang yang lebih menyukai tinggal di rumah, tidak begitu
suka dengan perbincangan bersama orang-orang. Barangkali hal ini terbentuk
karena ia pernah diasingkan, baik oleh kaumnya yang bangsa Eropa maupun kaum
istrinya.
Dibalik keberanian Abdul Muis untuk mengangkat
pertentangan dua budaya dan karakteristik penokohan yang kuat, Salah Asuhan
mempunyai sisi yang harus dirombak agar novel angkatan Balai Pustaka ini
kembali dinikmati oleh pembaca untuk diambil hikmahnya. Abdul Muis sedikit
banyak menggunakan bahasa Belanda di beberapa percakapan tanpa penjelasan,
sehingga cukup menyulitkan pembaca pada jaman sekarang yang tidak terlalu akrab
dengan bahasa Belanda.
“Aku hendak kawin dengan Lefdee saja, karena hanya Lefdee
yang lebih menyempurnakan percampuran suami istri.” (Dalam Bukan Salah Ibu
Mengandung)
Keberanian PaDi (Pustaka Digital) untuk menerbitkan Salah
Asuhan dalam bentuk digital yang bisa diakses secara gratis melalui media
gadget manapun, asal ada koneksi internet patut diapresiasi. Namun, sebaiknya
PaDi melakukan rombak ulang terhadap novel-novel angkatan Balai Pustaka yang
menggunakan bahasa Melayu, dimana pembaca pada jaman sekarang tidak akrab
dengan bahasa tersebut. Bahkan, bisa dibilang pembaca yang dengan sukarela
membaca novel angkatan Balai Pustaka rerata adalah kalangan book holic, sehingga penyampaian pesan
yang terdapat pada novel tersebut hanya tersebar pada kalangan terbatas.
Rombakan ulang terhadap novel balai Pustaka dengan merubah bahasa yang
digunakan sesuai dengan bahasa populer tanpa merubah inti novel tersebut,
diharapkan pembaca novel tersebut semakin luas.
Sejarah yang Kembali Terulang
Perilaku
mengagung-agungkan adat dan budaya bangsa lain yang melekat pada diri Hanafi kembali
terulang. Dewasa ini, sering terjadi pencemoohan terhadap apa yang dipunyai
oleh negara Indonesia dengan membandingkan keadaan Indonesia dan keaadaan
bangsa luar.
Jamak ditemukan
bagaimana hebohnya media sosial tentang penghinaan terhadap presiden dan segala
sesuatu yang berbau pemerintahan Indonesia, sementara di lain sisi memuja
pemimpin Luar Negeri dengan setinggi-tingginya.
Dalam diri remaja
pada umumnya pun juga terjadi gagap budaya. Anak-anak beramai-ramai mengikuti
beragam budaya luar negeri dengan berbagai gaya, seperti cosplay anime, girl
band dan boy band yang meniru Korea, dan Korean Drama yang booming memikat anak
muda.
Di lain sisi,
budaya daerah terasa asing. Pemerhati budaya asli daerah harus bekerja keras
agar budaya daerah tidak hilang tergerus jaman. Hal ini diperparah dengan
minimnya perhatian pemerintah tentang pelestarian dan sosialisasi budaya asli
daerah. Sebagaimana yang terjadi pada Musium Radya Pustaka Surakarta, musium
ini terancam tutup karena dana hibah yang sedianya digunakan untuk biaya
operasional tak kunjung turun.[1]
Jika hal ini
dibiarkan terus berlangsung tanpa adanya inisiatif segala lapisan masyarakat,
akan semakin banyak generasi yang tidak mengenal adat dan kebudayaan asli
daerah. Tidak menutup kemungkinan akan menjamur Hanafi-hanafi lain jika
generasi muda tidak mengenal adat dan kebudayaan sendiri, gegar kebudayaan
mengancam. Tetapi, bagaimanapun, kita patut bangga karena tak sedikit pula
generasi penerus yang berjuang nguri-nguri
kebudaaan meskipun minim dukungan.
Kisah percintaan
Hanafi-Rapiah dan Hanafi-Corrie pun sepatutnya juga diambil hikmahnya oleh
pasangan rumah tangga. Dekade ini, angka perceraian semakin meningkat dari
tahun ke tahun, Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Kemenag mendapat temuan kasus perceraian 2010-2015
meningkat sebanyak 59-80 persen.[2]
Dalam kisah percintaan Hanafi-Rapiah dan Hanafi-Corrie tersirat bahwa kehidupan
rumah tangga membutuhkan toleransi terhadap adat dan kebudayaan asal
masing-masing pasangan.
Tulisan ini diikutsertakan juga dalam lomba review buku Balai Pustaka Storial.co disini dan challenge bersama blogger KAH, tulisan mbak Rani R Tyas bisa dibaca disini | tulisan mbak Arinta Adiningtyas bisa dibaca disini
Post a Comment
Komentarlah yang baik.
Tujukkan Karakter Bangsa Indonesia.