"Beb, kamu sudah makan, belum?"
"Sudah, Ay. Kalo kamu?"
"Aku juga sudah. Jalan-jalan yuk, Ay."
"Ke mana, beb?"
"Ke selokan biasanya aja."
"Ayuk, beb"
Begitulah sebuah percakapan antara bebek dan ayam suatu pagi di depan kandang ternak.
Blogger Sejoli |
Aku mengusulkan untuk menggunakan seperti hubungan adik-kakak saja biar akrab dan tak membosankan. Hanya saja, aku mengusulkan kata adik diganti dengan Ayi. Ayi di sini kuambil dari bahasa Jawa Rayi yang berarti adik atau saudara yang lebih muda. Sedangkan Ayi memanggilku menggunakan kak sebelum bergeser menjadi panggilan yang membuat telingaku merah yaitu Abah.
Sungguhpun sudah disepakati bersama panggilan official kami yaitu ayi dan kak ternyata kenyataan yang berlaku tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ayi yang terpengaruh anak-anak LDK awalnya memanggilku dengan akh (akhi) sebelum bergeser menjadi aa' (seperti panggilan aa' Gym) seiring bertambahnya kedekatan antara kami. Dia membutuhkan waktu untuk penyesuaian panggilan kak sekitar seminggu. Sedangkan aku butuh bertahun-tahun untuk bisa memanggilnya dengan panggilan Ayi. Bahkan sampai sekarang pun sebetulnya aku tidak pernah memanggilnya begitu jika bicara secara langsung dengannya atau menggunakan kata ganti Ayi saat membicarakannya.
Aku sejujurnya pengen memanggil istriku dengan panggilan romantis sebagaimana orang lain memanggil istrinya. Nyatanya aku kepentok dengan keadaan yang menyatakan bahwa istriku tuna rungu. Ketika aku memanggilnya dengan Ay atau Yi seringkali malah membuatnya kebingungan. Ia tidak sadar kalau aku sedang memanggil. Kalaupun aku memanggilnya Ayi bisa jadi ia mengira bahwa aku sedang mengucapkan kata api, aji, ali, ani, ari, ati, asi, adi, aki, abi atau kata lain yang diucapkan dengan gerak mulut hampir sama.
Aku tidak tahu apakah Ayi menyadari bahwa aku tidak pernah memanggilnya dengan panggilan verbal. Panggilanku padanya saat ini seringkali menggunakan bahasa isyarat atau menggunakan sentuhan. Kalau panggilan bahasa verbal memiliki derajat keromantisan masing-masing maka panggilan isyarat dan sentuhan pun demikian.
Sentuhan di pundak kanan atau kiri derajatnya seperti panggilan dik atau dinda. Sentuhan di pinggul kanan atau kiri semacam panggilam cin, yang, beb, atau ay pada panggilan verbal. Sentuhan atau usapan pada kening atau ubun-ubun semacam panggilan umi, bunda, dan semacamnya pada panggilan verbal. Panggilan menggunakan sentuhan yang paling romantis tentu saja adalah sentuhan pada hati. Bagaimana pun caranya kalau cara memanggil itu membuat hatinya tersentuh dan berbunga-bunga maka akan sangat berkesan, bukan?
Panggilan menggunakan isyarat lambaian tangan, gerak bibir, kedipan mata, atau kode-kode tertentu juga memiliki derajat keromantisan masing-masing. Hanya saja, aku tidak akan membahasnya di sini. Kenapa? Biar kalian penasaran. 🤣🤣🤣
Panggilan verbal memiliki makna berbeda-beda menurut tonasi atau keras kecilnya suara saat memanggil. Memanggil dik dengan bisikan tentu memberikan makna berbeda dengan bentakan, bukan? Panggilan menggunakan sentuhan dan isyarat juga demikian. Bagaimana cara menyentuh: sentuhannya kilat atau pelan, mengusap atau menepuk, memukul atau menoyor, semuanya memiliki kesan yang berbeda-beda. Pun demikian panggilan isyarat bagaimana melambai, menggerakkan bibir, mengedipkan mata, mengernyitkan dahi atau isyarat lainnya memiliki arti dan kesan yang berbeda-beda pula.
Panggilan Sayang |
Orang-orang bahkan teman-teman terdekat kami banyak yang tidak memahami sandi keromantisan kami maka seringkali menganggap hubungan kami datar-datar saja alias tidak romantis sama sekali. Padahal jika tabir itu dibuka, sehingga mereka dapat memahami kodifikasi bahasa romantis kami, aku yakin banyak di antara mereka yang akan merasa iri dengan hubungan kami yang sangat menyenangkan. Aku akan terus berusaha membuat penduduk langit tak henti-hentinya menyulam tasbih sebagai tanda takjub akan keromantisan hubungan kami. Biarlah penduduk bumi tetap menganggap kami sebagai Blogger Sejoli yang membosankan.
Demi cintaku padamu, Ayi. 💞
Post a Comment
Komentarlah yang baik.
Tujukkan Karakter Bangsa Indonesia.