Bullying atau perundungan adalah suatu tindakan atau perilaku menyakiti baik dengan kekerasan fisik, psikologi maupun verbal. Bullying bertujuan untuk mengontrol orang lain, namun dengan cara kekerasan. Sudah cukup banyak artikel yang membahas dampak negatif bullying. Bahkan emak K sendiri masih memiliki sisa-sisa sampah yang timbul karena bullying.
"Kamu tu, otak kayak kodok. Gitu saja enggak paham!"
Bullying tidak hanya berupa kekerasan fisik yang luka dan perbuatannya bisa dilihat dengan mata telanjang. Bullying yang berupa kata-kata atau tindakan penekanan psikologis yang tidak terlihat dengan mata telanjang enggak bisa dianggap enteng.
Verbal Bullying dan bullying dengan tindakan psikologis seringkali tidak disadari karena dianggap terlalu biasa. Sampai-sampai orang tua yang seharusnya menjadi tameng anak dari erilaku bullying, secara tidak sadar melakukan perilaku bullying dan membuat anak menirunya.
Verbal Bullying Orang Tua Kepada Anak
Bullying dengan kekerasan kepada anak sudah cukup banyak yang memperhatikan. Bullying dengan kekerasan dari orang tua kepada anak lebih mudah dikenali daripada bullying verbal. Jika bullying dengan tindakan kekerasan dengan mudah disadari oleh orang sekitar, bullying verbal rata-rata tidak disadari bahkan dianggap biasa sebagai bentuk perhatian orang tua kepada anak."Kamu tu, otak kayak kodok. Gitu saja enggak paham!"
"Kamu enggak jauh beda dengan ayahmu. Sudah, ikut ayah saja sana!"
"Bodoh kamu!"
"Ndableg kowe ki!"
Enggak jarang ada orang tua yang tidak sadar mengucapkan verbal bullying kepada anak di hadapan orang lain, padahal anak sedang berada di tempat yang sama. Sudahlah sakit dengan kata-kata orang tua, masih ditambah malu karena didengar oleh orang lain.
"Anakku iki lho, ndableg e ora umum."
Suatu hari, ada seorang Ibu yang bertamu ke rumah untuk memintaku mendampingi anaknya belajar, tetapi kata-katanya bikin aku shock. "Mbak, tulungi anakku. Iki otak e cilik, bijine kursi terbalik semua."
Anaknya? Anaknya hanya menunduk malu. Memilin jari-jarinya. Matanya melihat ke bawah. Kakinya bergerak tak tentu arah. Gelisah dan malu tentu saja. Aku yang menyadari jika anaknya sadar dipermalukan, menyetop curhat orang tuanya, memintanya menyudahi dengan sopan.
Hal pertama yang kulakukan sebelum memulai pendampingan belajar adalah membangun rasa percaya dirinya. Sungguh, ini tidak mudah. Sangat tidak mudah. Berulang kali anaknya menjawab dengan nada lunglai, "Otakku kan cilik, Mbak..."
Ya Allah, Gusti. Setiap kali anak tersebut mengalami kesulitan untuk mencerna sebuah pelajaran, ia akan mengulang-ulang kata-kata otak cilik. Aku? Membantahnya berulang-ulang. Menjelaskan jika semua manusia punya otak besar dan otak kecil.
Duhai orang tua. Verbal bullying, merendahkan anak dengan kata-kata, meski itu hanya sebagai bentuk ancaman, ternyata sedalam itu pengaruhnya. Apalagi kata-kata orang tua serupa tuah, yang tidak ada tabir diantaranya.
Verbal bullying orang tua kepada anak muncul tidak hanya karena anak tidak bisa mencapai ekspektasi orang tua. Namun bisa juga muncul karena ada kekecewaan akan pasangan, keadaan ekonomi yang orat-marit, bahkan inner child yang belum tuntas. Tidak jarang seorang Ibu melukai anaknya dengan kata-kata bukan karena anaknya bersalah, tetapi karena ter-trigger dengan inner child-nya. Kata-kata spontan yang keluar karena teringat luka masa kecil.
"Bodoh kamu!"
"Ndableg kowe ki!"
Enggak jarang ada orang tua yang tidak sadar mengucapkan verbal bullying kepada anak di hadapan orang lain, padahal anak sedang berada di tempat yang sama. Sudahlah sakit dengan kata-kata orang tua, masih ditambah malu karena didengar oleh orang lain.
"Anakku iki lho, ndableg e ora umum."
Suatu hari, ada seorang Ibu yang bertamu ke rumah untuk memintaku mendampingi anaknya belajar, tetapi kata-katanya bikin aku shock. "Mbak, tulungi anakku. Iki otak e cilik, bijine kursi terbalik semua."
Anaknya? Anaknya hanya menunduk malu. Memilin jari-jarinya. Matanya melihat ke bawah. Kakinya bergerak tak tentu arah. Gelisah dan malu tentu saja. Aku yang menyadari jika anaknya sadar dipermalukan, menyetop curhat orang tuanya, memintanya menyudahi dengan sopan.
Hal pertama yang kulakukan sebelum memulai pendampingan belajar adalah membangun rasa percaya dirinya. Sungguh, ini tidak mudah. Sangat tidak mudah. Berulang kali anaknya menjawab dengan nada lunglai, "Otakku kan cilik, Mbak..."
Ya Allah, Gusti. Setiap kali anak tersebut mengalami kesulitan untuk mencerna sebuah pelajaran, ia akan mengulang-ulang kata-kata otak cilik. Aku? Membantahnya berulang-ulang. Menjelaskan jika semua manusia punya otak besar dan otak kecil.
Duhai orang tua. Verbal bullying, merendahkan anak dengan kata-kata, meski itu hanya sebagai bentuk ancaman, ternyata sedalam itu pengaruhnya. Apalagi kata-kata orang tua serupa tuah, yang tidak ada tabir diantaranya.
Verbal bullying orang tua kepada anak muncul tidak hanya karena anak tidak bisa mencapai ekspektasi orang tua. Namun bisa juga muncul karena ada kekecewaan akan pasangan, keadaan ekonomi yang orat-marit, bahkan inner child yang belum tuntas. Tidak jarang seorang Ibu melukai anaknya dengan kata-kata bukan karena anaknya bersalah, tetapi karena ter-trigger dengan inner child-nya. Kata-kata spontan yang keluar karena teringat luka masa kecil.
Menghentikan Verbal Bullying Orang Tua kepada Anak
Anak yang terbiasa mendengar kata-kata meremehkan, merendahkan, kata-kata kasar atau bahkan kata-kata yang tidak pantas, sangat berpotensi untuk melakukan hal yang sama kepada orang lain dan menimbulkan luka yang tidak bisa dianggap remeh.
Emak K jadi ingat, dulu saat SMA pernah dijuluki dengan 'kuping bocor' dari seorang senior. Sakit? Poll sakitnya. Bertahun-tahun aku berusaha menyembuhkan. Suatu hari saat orang tersebut meminta pertemanan di facebook, aku menyadari jika ia memang terbiasa berucap kasar. Saat aku main ke rumahnya, aku menyadari lagi satu hal, orang tuanya juga terbiasa berucap kasar.
Aku merutuki diri, asem bener luka ini timbul karena ucapan seseorang yang menganggap kata-kata yang ia ucapkan adalah hal yang biasa. Ya meski aku masih butuh waktu lama untuk menyembuhkan diri sejak menyadari hal tersebut, tetapi setidaknya aku menyadari jika peran orang tua terhadap perilaku bullying anak sangat besar.
Kita sebagai orang tua harus menyadari jika efek verbal bullying tidak lebih enteng daripada bullying dengan kekerasan fisik, bahkan bisa jadi lebih mengkristal daripada bullying dengan kekerasan fisik. Aku jadi ingat dengan dhawuh Yai, meskipun anak perilakunya di luar batas, jangan sampai keluar kata-kata negatif yang melabeli anak.
Kita bisa melatih diri dengan mengganti kata-kata berlabel negatif setiap kali anak melakukan hal yang membuat kita marah dengan kata-kata berkonotasi positif. "Oalah, Nang, enggak papa sekarang kamu banyak tingkah, nanti jadi anak yang sholeh ya, Le."
Kalau aku sendiri, setiap marah banget sama si K, selalu menyebut nama lengkapnya, "KEVIN MUZAKKA!" Berharap agar ia menjadi orang yang dermawan.
Kita bisa melatih diri dengan mengganti kata-kata berlabel negatif setiap kali anak melakukan hal yang membuat kita marah dengan kata-kata berkonotasi positif. "Oalah, Nang, enggak papa sekarang kamu banyak tingkah, nanti jadi anak yang sholeh ya, Le."
Kalau aku sendiri, setiap marah banget sama si K, selalu menyebut nama lengkapnya, "KEVIN MUZAKKA!" Berharap agar ia menjadi orang yang dermawan.
Post a Comment
Komentarlah yang baik.
Tujukkan Karakter Bangsa Indonesia.