Aku mencintai hujan. Menampung tetes airnya yang berjuta di telapak tangan. Membisikinya dengan salam untuk bapak, agar ia menyampaikan kepadanya yang telah menyatu dengan tanah.
Bapak, lelakiku itu, meninggalkan emak sendirian menghidupi
aku dan ketiga adikku. Menjadi seorang yatim bukan hal yang menyenangkan.
Setidaknya untukku. Apalagi jika menjelang wisuda seperti ini, rindu kepada
bapak akan mengkristal dalam tetes air mata, yang menyatu bersama tetes-tetes
hujan.
Aku merindukan bapak. Merindukan bau keringatnya ketika
kami berbincang. Merindukan kata-katanya yang menyejukkan. Bayangan bapak
selalu indah di mataku.
Aku mencintai hujan. Menampung tetes airnya yang berjuta di
telapak tangan. Memandang bulirnya yang bulat lekat-lekat, mengintip kembali
kunjungan bapak dalam mimpiku di akhir hidupnya. Mimpi yang menyapaku saat
hujan mengguyur deras di kaki Merbabu.
Bapak mencium keningku. Tersenyum dengan senyumnya yang
paling indah. Senyum yang dihiasi kumis tipisnya. Bapak memandang mataku
lekat-lekat. Tatapan matanya sangat dalam, seolah-olah ia tengah mengukir
wajahku dalam bola matanya agar tak ada yang bisa menghapus wajahku di bola
matanya yang sebening kaca.
Bapak kembali
mencium keningku, mengelus-elus rambutku. Melangkah menjauh, tanpa meninggalkan
seucap kata pun. Bapak pergi, dengan senyumnya. Dengan wajah beningnya. Wajah
yang tak ada kesakitan di dalamnya. Bapak sudah sembuh?
“Bapak...” aku mendesis, memanggilnya lirih.
Tanganku mengambang di udara. Tunggu, bapak jangan curang. Aku ingin melukis wajahmu di hati, agar tak ada seorang pun yang mampu mengotori meski hanya sebutir debu. Melukis di balik ruas dua belas pasang tulang rusuk yang tersembunyi.
Bapak tetap menjauh dengan langkahnya yang tegap. Sarung
hijau kebanggaannya melambai-lambai tertiup angin. Bapak, bapak bisa
melangkah tegap?
“Nur...” sebuah suara memanggilku. Bukan, bukan suara bapak.
Bapak akan memanggilku dengan panggilan khusus untukku; Nduk... Aku
mengerjap-ngerjapkan mata. Mencari sumber suara.
“Mimpi...” aku bergumam setelah melihat Siti duduk di
hadapanku sembari mengelus tanganku dengan pandangan heran. Ternyata aku
tertidur dengan mukena yang masih terpasang. Aku ingat, tadi aku ketiduran
selepas shubuh. Sesuatu yang selama ini pantang kulakukan.
Aku melempar mata ke luar, hujan tengah turun dengan
derasnya. Jika hujan begini, bapak akan mengajakku berbincang sembari
merapal doa-doa.
Ah, bapak. Kenapa semua menghadirkan bapak. Aku masih merasakan dengan kedatangannya dalam
mimpi. Kecupannya di kening terasa sangat nyata. Usapan tangannya yang kasar
masih tertinggal di pipi.
“Bapak...”
Kenapa bapak memandangku lekat-lekat dalam mimpi? Kenapa?
Seolah-olah tak akan berjumpa lagi. Bapak apa kabarnya di rumah?
“Nur, mimpi?” tangan Siti menyentuh bahuku.
Aku memandang matanya, mengangguk. Mataku basah. Aku
memeluk Siti, menumpahkan tangis di pundaknya. “Bapak, kenapa aku mimpi bapak
seperti itu...”
“Mungkin bapak kangen kamu, Nur.”
Aku menangis sesunggukan. Aku juga kangen bapak...
“Aku ingin pulang, ketemu bapak...”
Siti menggeleng, “Telepon saja, Nur, KKN kita belum
selesai. Lagian jauh, hujan...”
Aku meninggalkan bapak untuk KKN. Kanker getah bening
menggerogoti badannya. Jika bukan karena KKN, aku tak akan meninggalkan bapak,
tidak, tidak akan....
Aku memeluk bapak selepas mengganti kemejanya. Wajahnya
terlihat lebih pucat, matanya sayu. Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin memeluk
bapak. Wo Jah yang saat itu sedang menengok bapak, ikut menghambur memeluk
bapak; adik angkat satu-satunya. Seolah-olah itu terakhir kali bapak bisa
memelukku.
“Nur...” Siti kembali menegurku, menyentakku dari lamunan
tentang bapak. “Nggak baik mikir yang nggak-nggak. Doakan bapak.”
Aku mengangguk. Mengusap air mata dengan kasar. Bertekad ke
kampung sebelah secepatnya untuk menelepon bapak. Di kampung tempat aku KKN tak
ada sinyal. Di luar, teman-teman KKN tengah mempersiapkan karnaval TPA. Siti
mengajakku bergabung. Aku bangkit setelah merapikan mukena. Memakai jilbab yang
tersampir di dipan dengan kilat. Kesibukan menundaku untuk menelepon orang
rumah.
“Nur, yang sabar, ya...” Adi, ketua kelompok KKN menegurku
saat aku keluar kembali dari mengambil karton di kamar.
Aku memandang seisi ruangan, teman-teman memandangku dengan
mata berkaca-kaca. “Ada tamu, rombongan dosen. Kamu kesanalah, Nur. ”
Dadaku berdesir. Teringat mimpiku setelah shubuh tadi. Ada
apa dengan bapak? sendi lututku lemas, aku buru-buru duduk, menundukkan
kepala dalam-dalam. Jangan, jangan itu. Aku mengusir bayangan berita
yang tak mengenakkan.
“Nur, “ pak Wido memanggilku, aku mendongak. “tadi kami
sedang nengok kelompok KKN di kampung sebelah, ketemu saudaramu.”
Aku menahan nafas. Di kampung ini tak ada sinyal, hanya
kampung sebelah yang ada sinyal telepon, “katanya, ada telepon dari rumah,
minta disampaikan jika bapak...”
Air mataku tumpah seketika, aku tak tahu apa kelanjutan
kata-kata pak Wido. Tiba-tiba Siti memelukku. Mengelus-elus punggungku. Bapak
yang menatap mataku dalam-dalam...
“Nur, mau pulang?”
Aku mengangguk. Menarik nafas dalam-dalam. Menghapus air
mata dengan kasar. Aku harus kuat, agar bisa ketemu bapak...
Aku pulang ditemani Adi. Sepanjang perjalanan aku
menumpahkan sesak dengan membaca yaasin seperti yang diajarkan bapak jika
menerima berita kematian. Hujan membasahi kaca-kaca bis. Hujan, aku merapalkan
doa-doa untuk bapak. Bapak yang tak pernah mengeluh jika hujan tiba.
“Nduk, hujan itu rahmat Allah, “ aku teringat ketika
menemani bapak menikmati hujan di teras depan rumah, “hujan itu patuh dengan
titah Gusti Allah. Saatnya menguap ya menguap, saatnya menyirami ya turun.”
Aku kecil menampung percikan air hujan dengan telapak tangan, bapak memandangku dengan tersenyum. “Hujan nggak pernah nuntut balasan dari apa-apa yang disirami. Begitu turun dia akan merembes, gabung dengan yang lain untuk berbagi dengan makhluk-makhluk lain yang butuh, termasuk manusia. Nanti jika saatnya tiba, hujan akan menguap lagi. Begitu terus. Nggak pernah nuntut balasan. Nggak pernah berhenti bergerak.”
“Kayak bapak, ya?” aku tertawa sambil memercikkan air hujan
ke arah bapak.
Bapak mengelak, tertawa sampai badannya bergoncang,
“Hahaha, nanti, Nduk. Jangan jadi air kubangan yang jadi sumber penyakit. Terus bergerak, ikuti titahnya Gusti Allah.
Kayak hujan. ”
Mata bapak memandang air hujan yang tumpah dengan penuh
kekaguman, seolah hujan adalah kekasih yang lama dinantikan. Bibir berkumis itu
komat-kamit. Aku mengamatinya lekat-lekat.
“Bapak, baca apa?”
Bapak menoleh ke arahku yang masih asik memainkan
bulir-bulir hujan. “Baca doa, Nduk.”
Aku mengkerutkan kening. Bapak tertawa menggeleng-gelengkan
kepala melihat reaksiku.
“Anak bapak ternyata belum pinter,” bapak mengolokku.
“Eeh, Bapak sembarangan!” aku menyolot, memercikkan air
hujan ke arah bapak dengan lebih ganas.
“Hujan ini, Nduk, mengaminkan doa-doa kita. Alam takluk.
Hujan dzikir sama Gusti Alloh. “ mata bapak menyisiri pemandangan di sekitar
rumah, aku mengikuti arah pandangan bapak.
“Lihat itu, Nduk. Papringan goyang-goyang, ikut irama hujan. Ikut dzikir. “
Aku melihat ke arah depan, di belakang rumah gedhek yang
hampir rubuh. Serumpun bambu bergoyang-goyang, damai. Mataku mengitari sekitar,
menemukan pohon-pohon lain bergoyang, melakukan hal yang sama,
bergoyang-goyang. Tenang. Aku memejamkan mata, menikmati irama hujan dan
semilir angin yang memainkan anak rambutku.
“Kamu tahu, Nduk? Kenapa saat hujan hati jadi adem? Tidur
jadi enak? “
Aku membuka mata, menggeleng.
“Karena saat hujan alam ikut dzikir. Doa mustajab saat
pikiran tenang, hati lapang. Itulah kenapa, saat hujan doa mustajab. Karena
alam tenang, adem, Nduk....”
Tiba-tiba ada seorang lelaki tambun tetangga sebelah yang
lari menerjang hujan, “Kehujanan, Kang?” bapak berteriak.
“Iya, sial bener hujan turun.” Sahutnya tak kalah
berteriak.
“Emangnya kenapa, Lek?” aku bertanya lantang.
“Meh blonjo udan. Becek semua jalannya. Nggak bisa jualan
aku hari ini.” Suaranya timbul tenggelam di tengah suara hujan.
“Iki lho, Pak. Goro-goro udan kumbahan ra ono sing garing.
Anak’e sesuk sekolah meh nganggo opo? Sragame teles kabeh. “ istrinya menyahut ketika
lelaki tambun itu sampai di teras.
Bapak hanya tersenyum menggeleng-geleng. Aku melongo
mendapati sumpah serapah.
“Nduk, orang yang suka ngumpat hujan itu nggak tahu jika
hujan itu rahmat Gusti Allah. Saat-saat doa terijabah.” Bapak menyeruput teh
manis yang dihidangkan emak. “Coba kalau hujan nggak turun, kebayang gimana
repotnya.”
Aku menggaruk-garuk kepala, “Iya, capek.”
Aku pernah membantu bapak menyirami bayam saat musim
kemarau. Bolak-balik mengusung dirigen berisi air. Repot. Pegal.
“Nduk ingat saat merapi meletus?”
Aku mengangguk lekas-lekas. “Saat itu gusti Allah nurunin
hujan tiap hari, biar abunya nggak begitu bahaya. Waktu kita kesana cuaca lagi
panas, gimana coba?”
Aku menggeleng, nggak ingat.
“Saat itu nafas jadi sesak. Pasirnya pada beterbangan. Nduk
lihat polisi yang nyiramin jalan dengan air dari selang berulang kali?”
Aku mengangguk dengan ekspresi datar.
“Polisi baru nyiramin ke depan, nggak ada lima meter di
belakangnya udah kering lagi tuh tumpukan pasirnya. Terbang lagi. Kalau nggak
hujan berhari-hari?”
“Yang merasa dirugikan karena hujan itu karena nggak paham
seni hidup. Jika hujan, mau belanja bawa mantol. Jika hujan nyuci harus
jauh-jauh hari.” Bapak melirik kepadaku yang tertawa terbahak-bahak sembari
melirik ke tetangga sebelah, “hush, ra ilok ngono kuwi. Pas hujan, sambil
motoran atau jalan kaki, ngrapal doa, dzikir, sholawatan. Nikmat’e, Nduk.
Subhanallah...”
Hujan. Bapak selalu saja riang ketika hujan turun.
Menyempatkan berbincang sebelum tidur. Bercengkerama sembari menikmati ketela
rebus. Menyampaikan petuah-petuah saat alam mendukung hati menjadi lapang.
Kepergian bapak pun
diiringi hujan. Tetes-tetes air mengaminkan doa-doa kerabat yang ditinggalkan. Seolah
bapak ingin menghadirkan dirinya pada bulir-bulir hujan, agar kami yang
merinduinya bisa terobati dengan menikmati hujan. Hujan yang mengirimkan
kesejukan bagi kami yang kehilangan.
Hujan. Aku mencintai hujan. Menampung tetes airnya yang berjuta di telapak tangan. Aku menutup buku bersampul hijau yang membincang tentang hujan. Hujan tenang yang iramanya membuat otak berada pada kondisi alfa. Kondisi dimana doa-doa begitu mustajab, energi ikhlas mencapai titik puncaknya. Aku menarik nafas dalam-dalam, mengenang bapak. Hujan bagiku adalah pengganti sapaan bapak. “Sebab, bulir hujan menyimpan rahmat Allah, Nduk...”
Dedicated for: ayah Abidin di pulau seberang, lapang
kuburmu, ayah.
Post a Comment
Komentarlah yang baik.
Tujukkan Karakter Bangsa Indonesia.