Anak SD/ Mi memiliki kondisi psikis yang berbeda dengan anak usia
SMP, SMA apalagi setingkat mahasiswa. Kondisi psikososial anak SD/ MI, menurut
Erick Erikson, masih berada dalam masa laten. Anak usia Sd atau MI masih
belajar bagaimana cara membina hubungan dengan orang lain. Mereka belum mampu
menjalani hubungan profesional antara konseli dan konselor layaknya layanan
bimbingan konseling pada umumnya. Mereka masih belajar bagaimana membina
hubungan dengan teman sebaya. Oleh karena itu dibutuhkan keahlian khusus untuk
menjadi konselor bagi anak SD/ MI.
Menurut Erick Erikson, pada masa laten, anak menyadari kebutuhannya
untuk mendapat tempat dalam kelompok
seumurnya. Anak akan berusaha untuk mencapai tempat itu, namun di lain pihak,
orang dewasa masih menganggap bahwa anak pada usia 6-11 tahun sebagai anak
kecil. Ketidakpercayaan orang dewasa terhadap anak usia ini dapat menimbulkan
perasaan rendah diri yang bisa menghambat perkembangan psikososial anak.
Sebaliknya, jika anak merasa mampu untuk melakukan sesuatu dan orang dewasa
memberi kepercayaan terhadapnya, maka akan terbentuk perasaan gairah pada diri
anak.
Menyadari kondisi anak yang seperti itu, dimana anak masih belajar
bagaimana membina hubungan denga teman sebaya, tentu konselor anak tidak bisa
menerapkan layanan konseling sebagaimana yang dieterapkan pada orang dewasa.
Konselor anak harus mengerti tentang dunia anak, sekaligus tidak boleh
memperlakukan anak sebagai anak kecil karena akan menimbulkan perasaan rendah
diri bagi anak, dan pada akhirnya tujuan bimbingan dan konseling tidak
tercapai.
Bimbingan dan konseling merupakan hubungan yang bersifat membantu,
dimana konselor membantu anak untuk mengambil sikap yang tepat bagi dirinya
sendiri. Untuk mencapai hubungan ini, dibutuhkan asas-asas yang dapat menjadi
acuan konselor dalam mengambil sikap selama menempati posisi sebagai konselor
anak.
Asas-asas komunikasi antar
pribadi dalam konseling yang diutarakan Ws. Winkle dalam B & K di Institusi
Pendidikan adalah:
1.
Bermakna Baik
2.
Mengandung
unsur kognitif dan afektif
3.
Berdasarkan
saling kepercayaan dan keterbukaan
4.
Berlangsung
atas dasar persetujuan
5.
Terdapat suatu
kebutuhan diantara keduanya
6.
Terdapat
komunikasi dua arah
7.
Mengandung
strukturalisasi
8.
Berasaskan
kerelaan dan usaha untuk bekerja sama agar mencapai tujuan
9.
Mengarah
kesuatu perubahan pada diri konseli
10.
Terdapat
jaminan bahwa kedua partisipan merasa aman
Asas-asas yang diutarakan oleh Winkle belum mampu dijadikan sebagai
landasan bagi konselor anak. Oleh karena itu penulis mencoba untuk
mengaplikasikan pendapat penulis dengan terori yang telah diutarakan oleh
Winkle. Berikut ini adalah asas-asas yang perlu diterapkan oleh konselor anak.
1.
Memposisikan
diri sebagai teman sebaya, agar tercipta hubungan yang bermakna baik dan agar
tidak terjadi kesalah pahaman.
2.
Menciptakan
situasi yang kondusif, diamana anak bisa mencurahkan cerita apa yang dialami
oleh dirinya. Dengan cara seakan-akan kita masuk kedunia anak.
3.
Membuat anak
merasa nyaman dengan kita, sehingga timbul kepercayaan anak terhadap konselor.
Dan konselor mampu membantu penyelesaian masalah anak dan akan timbul hubungan
timbal balik.
4.
Didalam
konselor memberikan pemahaman terhadap konseli menggunakan dan harus berkaitan
dengan pengetahuan dan perilaku anak agar berjalan dengan baik dan saling
berhubungan.
5.
Menumbuhkan
rasa memiliki pada anak akan kasih sayang dan perhatian dari konselor, sehingga
anak akan merasa membutuhkan kita ketika merasa tidak nyaman terutama ketika
memiliki masalah.
6.
Merancang
konsep agar komunikasi antara konselor dan anak berlangsung sesuai dengan
tujuan yang akan dicapai, meskipun cara yang digunakan menggunakan metode
penalaran anak.
7.
Menciptakan
situasi yang menyenangkan sehingga anak tidak merasa memiliki beban untuk
bercerita, dengan menampakkan rasa sayang yang diberikan dari konselor kepada
konseli.
8.
Menumbuhkan
rasa aman dan rasa percaya diri pada anak bahwa masalah yang dialami dapat
diselesaikan oleh anak.
Pada proses bimbingan dan konseling
dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal, Winkle mengutarakan bahwa
hal-hal yang berpengaruh terhadap proses konseling selama proses wawancara
adalah :
1.
Kondisi
eksternal
Kondisi eksternal menyangkut lingkungan fisik tempat wawancara
berlangsung, penataan ruang, bentuk bangunan, performent konselor, kerapian,
tidak terpasang alat perekam, hanya menggunakan buku catatan, dan menggunakan
sistem janji.
2.
Kondisi
internal
Kondisi internal meliputi pihak konseli dan konselor. Pihak konseli
meliputi keadaan awal konseli sebelum bertemu konselor, yang meliputi sikap,
jenis kelamin, kesan konseli terhadap konselor, juga motivasi dan inisiatif.
Pada pihak konselor juga berlaku keadaan awal, keyakinan, nilai kehidupan,
pengalaman di lapangan, kemampuan menghadapi situasi, dan memiliki hubungan
yang berkualitas.
Pada anak usia SD/MI diperlukan penataan lingkungan eksternal
dengan cara menciptakan lingkungan yang sesuai dengan imajinasi anak.
Contohnya, kak Seto ketika melakukan konseling dengan anak, beliau menggunakan
taman bermain yang memang dikhususkan untuk konseling. Dalam taman bermain
tersebut terdapat ayunan, dan gambar-gambar yang menyenangkan bagi anak,
sehingga menciptakan situasi yang kondusif bagi anak dan anak merasa nyaman
dengan situasi tersebut.
Jika di sekolah tidak terdapat taman bermain yang sepi, konselor
bisa mendekati anak ketika jam istirahat dan mengajaknya ke sebuah tempat yang
sepi. Misalnya, di bawah pohon sambil mentraktir anak makanan yang disukainya.
Hal ini dapat menimbulkan perasaan dekat pada diri anak.
Untuk melaksanakan bimbingan dan konseling, kita harus menyesuaikan
dengan keadaan anak pada saat ini, meliputi kondisi internal dan eksternal.
Serta kita juga harus memperhatikan asas-asas dalam melaksanakan proses bimbingan.
sehingga diharapkan kita mampu menjadi konselor yang keren bagi anak.
Post a Comment
Komentarlah yang baik.
Tujukkan Karakter Bangsa Indonesia.